"Membaca buku Bumi Manusia itu berat, biar Minke saja"
Pertama kali kenal buku eyang Pram, tahun 2008-2009an saya sampe baca tiga kali ulang biar paham makna dalam buku ini, sebenernya nyeritain apa sih.
Setelah agak dewasa, baru mikir kalo otak saya di usia 19an (Usia Minke saat itu) ternyata masih sangat lemah nerima asupan yang berat-berat sekali suap. Lalu saya membaca tetralogi pulau buru yang lain, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Kemudian jatuh cinta
Jujur lega banget, ketika nonton filmnya, seenggaknya film ini gak seberat bukunya.
Saya gak bisa bilang kalau film ini sebenarnya bisa 'asyik' ditonton generasi millennial dan Z yang belum pernah baca buku eyang Pram (apalagi mencintai bukunya) atau enggak?
Apalagi buat yang (
"Kita kalah, Liaa... eh Kita Kalah Ma..."
Ini bukan Dilan, ini bukan Milea. Dialognya gak seperti ini, emosinya gak seringan itu.
Ini tentang Minke yang kalah melawan kolonialisme Eropa, yang menjadikan pribumi serasa tamu di rumahnya sendiri, yang dengan kuasanya bisa membawa paksa sang istri yang teramat dia cintai.
Cast
Sulit untuk melepaskan Iqbaal dari karakter Dilan. Tapi di Bumi Manusia, dia berhasil menidurkan gaya gank motor yang jago gombal, 100% hilang.
Dia berhasil keluar dari Dilan, keluar dari Iqbaal Ramadhan. Tapi saya belum melihat Minke secara utuh.
Yup, Iqbaal sudah mengerahkan segala kekuatannya untuk menjadi Minke. Gaya bahasa, postur tubuh, dialek, dialog berbahasa Belanda, untaian kata puitis sekaligus emosi pemberontakan dan perjuangan di era itu.
Tapi belum membuat saya sejatuh cinta itu pada Minke. Seperti saya jatuh cinta pada karakter Dilan di diri Iqbaal.
Namun saya sendiri menyadari, rasanya tidak ada yang bisa memerankan Minke selain Iqbaal. Pemuda visioner zaman now, remaja menjelang dewasa terpelajar, cerdas, usia 18-19 tahun, teguh pada pendirian, gaul pada masanya, pandai public speaking dan bisa mempengaruhi banyak orang.
Benar yang dikatakan mas Hanung Bramantyo sebagai sutradara, Iqbaal cuma kurang ngerasa terhina, kurang budak, kurang kena gimana rasanya dijajah dan dipandang sebelah mata.
Karena, buat yang sudah membaca Bumi Manusia, apalagi sampai berulang-ulang. Rasanya semua sepakat, tidak ada yang bisa memerankan Minke di dunia nyata saat ini. Emosinya, kecerdasannya, kekeras kepalaannya, rasa terhina dan perbudakan yang mencambuknya menjadi pemuda pemberontak yang bangkit melawan Eropa, tidak akan ada yang bisa menerjemahkan secara sempurna oleh aktor masa kini.
Tapi sekali lagi, tepuk tangan sekeras-kerasnya untuk Iqbaal yang dengan kerja kerasnya membawa Bumi Manusia yang sebentar lagi berusia 4 dekade ini, hidup lagi.
Pasti bukan saya saja, semua penonton setuju karakter paling bersinar di sini adalah Sanikem, alias Nyai Ontosoroh yang berhasil diperankan apik oleh mba Sha Ine Febriyanti.
Meski gejolak emosi Nyai tidak diceritakan keseluruhan. Seperti betapa Nyai benci ayah yang menjualnya, dan ibunya yang dianggap tidak sekeras itu memperjuangkan dirinya.
Karena ketika membaca bukunya, emosi ini sangat terasa, dan ini berhubungan dengan akhir cerita gimana Nyai berjuang mati-matian mempertaruhkan hidupnya untuk mempertahankan Annelies sebelum dibawa Eropa.
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya"
Adalah salah satu line yang di dalam buku dan di visual terasa sama hangatnya.
Tatapan mata, intonasi, mimik wajah Ine Febriyanti yang paling mendebarkan, seketika membuat dada terasa penuh sesak.
Apalagi scene ketika Nyai harus tetap menegakkan bahu sambil berjalan jongkok saat menghadiri persidangan pribumi, yang dikuasai Eropa. Bagaimana antara perjuangannya membela hak, mempertahankan harga diri, dan rasa terhinanya. Bikin mberebes mili
Mengingatkan kita, generasi sekarang, bahwa Indonesia pernah punya sejarah perjuangan panjang. Dijajah oleh kolonial, sampai sehina itu. Terutama pribumi kelas ke-tiga.
Dan Nyai membuktikan Indonesia pernah melawan, meski akhirnya kalah :(
Nyai Ontosoroh terbaik.
Dan Mawar De Jongh, ya ampunnn dia lucu banget, cantik banget, eropa banget, imuttt banget, dan senyumnya emang bikin jatuh cinta. Gak heran Minke juga langsung cinta pada pandangan pertama.
Iya, Mawar berhasil menghidupkan Annelies Mellema. Gaya bahasanya, gerak geriknya, langkahnya, gaya berbusananya, sangat Annelies. Meski agak kurang kekanak-kanakan, dan kurang 'manja', beberapa emosi yang kadang belum sampai klimaks, tapi secara menyeluruh Mawar TOP banget untuk aktris yang bahkan belum punya jam terbang sangat banyak.
Karakter lain yang justru paling saya suka adalah Jerome Kurnia, alias Robert Suurhof dan Giorgino Abraham sebagai Robert Mellema. Dari awal muncul sampai hilang begitu aja, duo Robert ini keren banget, nyebelinnya, gayanya, bahasa tubuhnya, sok sok Eropa-nya dan kefasihan bahasa Belanda mereka bikin saya ngefans hehe.
Aktor/aktris lain yang menurut saya tepat memerankan karakternya adalah Darsam, Herman Mellema, Magda Peters, Jan Dapperste, ayah dan ibu Minke, dan dokter Martinet.
Story
Film ini lebih dari 50% berbahasa Belanda, percakapan yang normal, terdengar santai. Bahkan para aktor pribumi terlihat cukup menguasai. Meski ada beberapa dialog yang kadang lupa dialek njowo totok jadi seperti bicara bahasa Indonesia biasa. Tapi secara keseluruhan memuaskan.
Sebagai pecinta sastra dan sajak menye-menye pada masa itu, dialog dialog penuh cinta yang diucapkan Minke untuk Annelies, --termasuk kata mutiara Jean Marais, salah satu tokoh dengan cerita hidup favorite saya di novel-- udah pasti bikin saya pengen liat ntar pas difilm-in bakal seromantis itu juga gak ya kata-katanya.
Dan cukup berhasil. Banyak dialog dan kata mutiara yang jadi harta karun pusaka Bumi Manusia karya eyang Pram, diterjemahkan dengan baik dalam film Bumi Manusia karya mas Hanung.
Sayang, peran Jean Marais guru filosofi yang mengenalkan Minke akan liberte egalite dan fraternite tidak cukup ter-explore. Padahal ini salah satu inti cerita eyang Pram.
Selain itu, salah satu cerita paling menarik di buku adalah kisah hidup Maiko, pelacur yang meracuni Robert Mellema yang diperankan sangat baik oleh Kelly Tandiono -sang Bidadari Mata Elang di Jagat Cinema Bumi Langit- juga tidak diceritakan dalam film ini.
Saya tahu, itu sesuatu hal yang mustahil untuk memvisulkan keseluruhan cerita. Karena yang paling disorot di sini adalah Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies Mellema.
Setting
Film tidak akan sempurna tanpa ada campur tangan editor apik, effect suara mengaduk emosi, property yang detail sampai tone warna yang mendukung.
Semuanya baik. Meski saya masih kurang merasakan zaman kolonial dengan warna yang kuning terang mencolok. Setting lokasi dibuat sedemikian mirip, meski ada beberapa scene yang masih terlihat CGI. Wardrobe dan makeup yang cukup mewakili momen zaman tahun 1898 hingga tahun 1918-an.
Pengambilan gambar dengan angle terbaik berhasil dimainkan mas Rahmat Syaiful sebagai director of photography, sehingga emosinya ngena. Walau ada beberapa adegan yang kurang sampai.
Salah satunya menurut saya, ketika Minke pertama kali masuk ke rumah Nyai Ontosoroh, ada beberapa scene yang jeda cukup lama, yang membuat kita berpikir 'ini ngapain ya'. Kalau baca bukunya, kebayang Minke sebegitu mengagumi rumah Nyai, tapi di visual, saya merasa pesan itu belum sampai. Entah dari pengambilan gambar, atau kurangnya penyampaian emosi Iqbaal sebagai Minke.
Terakhir, Alunan Ibu Pertiwi yang dilantunkan sang legenda, om Iwan Fals, Once dan Fiersa Besari sukses bikin merinding.
Sebagai pembaca bukunya, saya menilai 8/10 secara keseluruhan
Terima kasih untuk para aktor dan aktris yang terlibat, terima kasih mas Hanung dan Falcon. FIlm Bumi Manusia berhasil membuat saya mengingat kembali tentang buku dan penulis kecintaan saya, eyang Pram.
2 Comments
Mantab... Thanks mbak Review nya.
BalasHapusLengkap
Terima kasiih :)))
HapusSilahkan tinggalkan pesan di sini: