Aya Zahir
  • Home
  • About
  • Travel
  • Parenting
  • Review
  • Blogging
  • Portfolio
Film terfavorit yang pernah aku lihat, bukan hanya ide cerita tapi cara penyajiannya. meski tak banyak yang kupahami tentang politik, tapi aku melihat sisi sastranya, termasuk menyadur kembali puisi-puisi 'Soe Hok Gie' yang tidak tentang Politik Demokratis

CINTA ♥♥♥


Aku tak tau mengapa aku jadi melankolis malam ini.
Aku melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas Jakarta dengan warna2 baru.
Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan.
Semuanya terasa mesra tapi kosong.
Seolah-olah merasa diriku yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi putis sekali di jalan.
Perasaan sayang yang amat kuatmenguasaiku
Aku ingin memberikan rasa cinta pada manusia.
_Gie_

*
Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa,
Pada suatu ketika yang tlah lama kita ketahui.
Apakah kau masih selembut dahulu?
Memintaku meminum susu dan tidur lelap, sambil membenarkan letak leher kemejaku?

Kabut tipispun pelan-pelan turun di lembah kasih, lembah mandala wangi.
Kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram,
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin.

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu,
Ketika ku dekap kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat.
Apakah kau masih akan berkata “Ku dengar derap jantungmu.”
Kita begitu berbeda dalam semua,
Kecuali dalam cinta.
_Gie_
*
Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku,
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
Mari, sini sayangku

kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa.
_Gie_


KEHIDUPAN dan KEMATIAN ✿✿✿

Haripun menjadi malam,
Ku lihat semuanya menjadi muram.
Wajah-wajah yang tak kita kenal berbicara dengan bahasa yang tak kita mengerti,
Seperti kabut pagi itu.
_Gie_

Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan,
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
Dan yang tersial adalah yang berumur tua.
Berbahagialah bagi mereka yang mati muda.

Makhluk kecil, kembalilah dari tiada ke tiada,
Berbahagialah dalam ketiadaanmu.
_Gie_
Aku benci sepak bola, kata-kata ini sudah mengakar di lubuk hatiku yang paling dalam. Apapun namanya, dari club manapun, dari kota manapun, seganteng apapun pemainnya aku tak peduli.
“Gw benci sepak bolaaaaaaaaaa............!” teriakku kencang, menerbangkan kantuk Kori, salah satu temanku yang bertubuh kurus itu.


“Apa-apaan sich Tha, gak tau gw ngantuk apa. Iseng banget sich.” Dengan muka masam, Kori bersungut-sungut pindah tempat duduk dan melanjutkan kembali kantuknya  di bawah pohon. Aku masih kesal, ku dekati Kori dan menepak bahunya hingga ia gelagapan.
“Ray, GUEEEE BENCI SEPAK BOLAAAA....!” nadaku menjerit di kupingnya dan berlari masuk ke dalam kelas.
“Methaaaaaaaaaaaaa,,,”
Aku tergelak.
Hi, namaku Metha Salsabilla. Siswa SMA yang biasa-biasa aja di kota besar ini, Jakarta. Bukan sekolah favorit, juga bukan sekolah unggulan, tiap lomba kebersihan antar provinsi juga tidak pernah menang. Yaa sekolah yang biasa-biasa aja. Siswanya pun biasa, tidak semua naik mobil dan memakai sepatu bermerk. Satpam sekolah juga gak galak, tapi baik juga enggak, pokoknya biasa aja. Intinya, tidak ada yang special, tidak ada yang perlu diceritakan apalagi dibanggakan. Mmm, mungkin pendidikan agamanya saja yang menurutku agak lebih (lebih dari pelajaran yang lain). Semua siswa perempuan wajib mengenakan rok panjang dan jilbab, kalo keliatan bajunya agak ketat langsung pak Sam, guru BP sekolahku sibuk mencari gunting dan menyobeknya. Aku siswa kelas 2 (kelas XI untuk zaman sekarang). Tidak termasuk siswa yang cerdas, tapi juga tidak bodoh. Tapi untuk soal debat apalagi agama dan sastra memang aku tidak ada duanya (di sekolah ini doang).

Asalku dari Malang, tapi sekolah di Jakarta, aku kost dan bekerja sebagai kuli tinta alias wartawan kontrak di salah satu majalah islam. Lumayan, untuk biaya kost dan makan. Sementara untuk biaya sekolah, aku mengandalkan dari penjualan kue-kue kering buatanku yang tiap hari ku titip di warung. Orang tuaku di kampung, punya ladang yang luas, sebenarnya cukup untuk membiayaiku sekolah, tapi ku pikir uangnya ditabung saja, takut uangku tidak cukup buat kuliah nanti. Orang tuaku meng’iya’kan saja. Aku termasuk gadis mandiri dan bertanggung jawab, meski kadang teman-temanku mengajak nongkrong-nongkrong, mejeng di mall seperti remaja pada umumnya, aku selalu menolak, alasanku sibuk, mereka tau. Kadang aku benci mereka, yang seenaknya saja menanggalkan kerudungnya di luar sekolah. Berarti pakai jilbab hanya untuk sekolah, kalau di luar mah terserah. Lho, apa maksudnya? Tapi untuk hal ini aku tak bisa protes, toh itu sudah jadi pilihan hidup mereka. Mereka sudah dewasa, masa iya aku yang harus menceramahi. Yang penting, aku tidak melakukannya, kemana-mana aku mengenakan busana islam kebangganku ini. Walau rokku sudah agak lusuh dengan kaos kaki yang sudah tipis dibagian tumit, ah sudah saatnya kuganti.

Aku benci sepak bola. Sejak kecil, sejak dilahirkan. Entah apa sebabnya, padahal kakak laki-lakiku yang di kampung, bapakku, tetanggaku, semua suka sepak bola. Bahkan tak jarang kawan sekolahku perempuan juga ikut-ikutan gandrung pada olahraga itu. Aku tak habis pikir, apa yang mereka sukai. Aku benci pemainnya, aku benci pendukungnya, bahkan aku juga benci pada bolanya.

Teriakan-teriakan kecewa dan bahagia memecahkan gendang telingaku. Aku benar-benar tak konsentrasi menulis naskah hasil wawancara siang tadi dengan salah satu artis yang belakangan mengenakan jilbab cantiknya. Padahal naskah itu harus selesai setengah jam lagi, karena jam 12 aku harus tidur, sebelum jam 4 aku terbangun membuat kue-kue yang ku titipkan di warung bu Darsem. Aku mengencangkan alunan musik yang kudengar di earphone, berharap bisa meredam nada riuh penonton sepak bola yang sedang nobar di depan kost-kostan ku.
*
Terik mentari siang ini seolah menghanguskan ubun-ubunku, sudah hampir satu jam aku duduk di bawah pohon di tepi jalan ini menunggu salah satu kawanku. Kori, sahabat setiaku asyik membaca komik dengan kacamata menempel di kedua matanya seolah tak mempedulikan garangnya mentari, sesekali ia tersenyum jika yang ia baca menurutnya lucu.
“Ray, iwan jadi dateng gak sich?” dengan nada bimbang aku bangkit berdiri.
“Hmmm...!” Kori mengangguk sambil matanya tak berpaling dari komik yang ia baca.
“Kita udah hampir satu jam nunggu Raayy.” Aku mulai kesal “Bisa kesorean nanti, kita jalan aja yuuuk.”
“Tha, yang tau temptnya tuch Iwan, kita mau jalan kemana? Tenang dech, namanya juga Jakarta, nunggu satu dua jam mah biasa.”
“Lo yakin, udah sms dia?”
“Udah. Tapi... belum terkirim” ia tersenyum bersalah setelah memeriksa berita terkirimnya
“Hah? Maksudnyaaa...? jangan gila dech Ray, jangan-jangan Iwan lupa, atau...”
“Iya, iya gw telphon.” Kori mulai kesal juga
Setengah jam kemudian
Tiiiiinnn,, tiinnn.. bunyi klakson mobil Iwan.
“Maaf, tadi abis nonton sepak bola dulu, jadi gak denger lu telpon.” Nyengir.
*
Itu hanya sebagian cerita kecil tentang kegiatan-kegiatanku terhalang karena sepak bola. Aku semakin membencinya. Bagaimana bisa, dia lebih mementingkan pertandingan daripada tugas sekolahnya, aaahhh aku kesal.
Aku muak melihat remaja-remaja pria dan wanita yang mungkin baru berumur 6 hingga 13 tahun berdiri joged joged di atas atap metromini dengan pakaian yang Masya Allah tak layak dikenakan oleh makhluk yang bernama manusia beragama. Rambut acak-acakan, rok dan celana bayi, baju sengaja dibuka kerahnya memamerkan dada dan bahu, sepatu dekil, topi-topi kebanggaan berbalut syal dilehernya, ada yang berpelukan di atas-atas motor bernyanyi mars club kesayangan di sepanjang jalan. Belum lagi pulang dengan lemparan batu dan ucapan-ucapan kotor yang terlontar dari mulut-mulut kecil itu. Belum cukup umur bahkan. Naudzubillah ingin muntah rasanya. Awalnya aku tidak peduli, bahkan sempat juga sesekali menonton tayangan yang menurutku bisa merubah tingkah laku peminatnya. Tapi lama-lama setelah melihat kelakuan suporter dengan kelakuannya, tak dapat dibendung lagi rasa benciku pada olahraga ini.

Bagaimana bisa seorang wanita berjingkrak diantara ribuan pria yang tak dikenalnya, menyentuh dan menyenggolnya. Bagaimana bisa mulut-mulut para pelajar itu mengeluarkan kata-kata kotor berbau sampah dari bibir mulianya. Wajah cantik kelihatan liar, yang tampan keliatan sangar, yang berpendidikan seperti tak punya otak, wanita anggun mana yang kelihatan santun jika sudah berteriak-teriak. Tak ada simpatik sama sekali pada mereka, aku menghujat, benar-benar menghujat. Seperti mereka yang juga tak mempedulikan suaraku. Tak peduli, aku juga tak ingin di dengar. Tiap kali mendengar terompet-terompet pertandingan di mulai, darahku mendidih benci, ingin rasanya membanting televisi warga yang selalu menayangkannya di lapangan depan kost-kostan. Kalau sudah begitu, maka aku menghidupkan musik keras-keras atau tidur.
*
Aku sudah tak peduli, saking seringnya. Biarkanlah, toh mereka tak menggangguku. Akupun tak mengganggu mereka. Aku hanya benci sepak bola, dan itu prinsipku, kita tidak boleh saling mengganggu, bukan begitu? Baru separuh aku menulis artikel untuk diterbitkan, ketika tiba-tiba...

“Praaangggg........!”
Aku tersentak, bangkit dari kursi keluar kamar dan melihat kaca rumah kostku pecah, dan ada bola menggelinding ke arah kakiku. Beberapa anak di luar berdiri mematung di tengah lapangan. Aku tersenyum, bibirku bergetar, air mataku hampir tumpah, namun mengingat kesantunanku sebagai wanita muslimah hanya hatiku yang menjerit “GW BENCI SEPAK BOLAAAAAAAAAAAAAAAAAA.....!”.
Surat pendek untuk Ridha..
Ridha, sahabat terbaikku. kau memang tak sempat melihatku. Tapi ijinkan aku mensyukuri nikmat hidup sekali lagi dengan meminjam ragamu dan memandang keindahan dunia lewat mataku

Pertama kali aku mendengar alunan nada biola sehalus ini, menyayat hati. Seperti irama yang menceritkan sepasang kekasih yang saling menguatkan. Aku tahu, dari ratusan penonton yang duduk berjejer ini mungin hanya tiga atau empat orang yang tidak teriris ulu hatinya mendengar alunan suara menggetarkan jiwa.
Tepuk tangan riuh mengakhiri pertunjukan, perlahan layar ditutup,aku menyeka kedua mataku yang sembab. Pria yang duduk di sampingku menggenggam tanganku erat, tersenyum ke arahku, “Kamu suka?” aku hanya tersenyum masam.

Di mobil, yang melaju dengan kecepatan yang sedikit pelan. Aku tetap mematung, terdiam. Bukan karena ngantuk, atau dinginnya AC yang membuat lidahku kelu. Aku teringat gadis itu, gadis berkerudung hitam yang sekitar setengah jam yang lalu mengalunkan nada-nada surga meruntuhkan amarah hati, membangkitkan semangat jiwa yang terpuruk, membuat air mata siapapun terjatuh tanpa bisa dihentikan. Bukan, bukan hanya itu, bukan hanya permainan tangan lembutnya yang piawai menciptakan irama menyejukkan. Tapi karena diapun sama sepertiku, duduk di atas kursi roda, dengan kedua kaki yang tak bisa difungsikan layaknya manusia normal lainnya. Bedanya, aku adalah penderita patah kaki akibat kecelakaan kendaraan sekitar 3 tahun yang lalu. Sedangkan Ridha, nama gadis itu, menderita kelumpuhan sejak ia dilahirkan. Tidak hanya itu, yang lebih mengejutkan adalah ketika aku tau bahwa Ridha juga adalah penderita kongenital amaurosis Leber atau kehilangan penglihatan sejak kecil alias buta, gadis manis itu juga tidak bisa berbicara. Entah apa yang diwariskan orang tuanya kepada gadis secantik Ridha yang terlahir dengan berbagai macam penderitaan yang ditanggungnya selama hidup.

Tapi ia tetap seperti wanita pada umumnya, dari fisik, ia terlihat normal. Wanita berkulit putih dengan dua lesung pipi di kedua pipinya itu terlihat sangat anggun, dengan baju gamis dan kerudung hitam yang selalu dikenakannya membuat ia semakin terlihat cantik. Hidungnya mancung dengan dagu yang lancip, membuat pria manapun terkagum-kagum melihatnya. Mungkin hanya kursi roda yang menonjolkan ketidaksempurnaannya. Semua orang akan tahu bahwa ia tak bisa berjalan normal. Tapi apakah mereka tau, bahwa gadis cantik itu juga tidak bisa melihat dengan kedua bola matanya, dan tidak bisa berbicara seperti wanita-wanita yang lain. Tapi senyum itu, senyum ikhlas yang selalu tersembul dari bibirnya membuatku semakin terpuruk malu.

Dia, adalah Ridha. Usinya 24 tahun. Ketegaran gadis itu menerpa badai hidup begitu menyentuh hatiku. Sejak 6 bulan yang lalu sejak konser untuk para tunanetra itu digelar, aku mulai dekat dengan Ridha. Kadang, seminggu sekali aku berkunjung ke rumahnya yang sangat sederhana. Rumah kecil mungil itu berdiri dihiasi pepohonan dan bunga yang menghiasi lingkungan sekitar rumah. Ada tiga buah kursi dengan satu meja bundar di depan rumah mungilnya. Tempat Ridha memainkan biola dan menciptakan nada-nada syahdunya. Ia tinggal bersama dengan adik kecilnya, Shifa nama gadis kecil itu, baru berumur 12 tahun. Orang tuanya sudah lama meninggal sejak Shifa dilahirkan, karena kecelakaan. Mereka tinggal di rumah peninggalan orang tuanya. Lagu-lagu Ridha yang akhirnya bisa membuat mereka bertahan hingga bertahun-tahun ini. Ridha juga mengajarkan permainan biola pada anak-anak di sanggar milik om Lucas, tak jauh dari rumahnya. Biasanya ia diantar jemput oleh Stef, supir pribadi om Lucas. Tante Rhe, istri om Lucas sangat baik pada Ridha dan Shifa, kebetulan mereka tidak memiliki anak diusia mereka yang sudah hampir menginjak 40 tahun. Berkali-kali mereka membujuk Ridha untuk tinggal di rumahnya saja, tapi keduanya menolak karena tidak mau meninggalkan rumah orang tua mereka tercinta.

Tiga kali dalam seminggu, Ridha mengajarkan biola di sanggar seni om Lucas. Shifa, gadis manis yang juga berhidung mancung itu selalu setia menemani kakaknya. Sebelum berangkat sekolah, ia memasak, membersihkan rumah. Setiap hari Shifa juga yang belanja kebutuhan hidup, kebutuhan kakaknya juga memilih warna baju yang cocok untuk Ridha. Hubungan kedua kakak adik yang saling mengasihi, menyentuh. Keramahan mereka adalah segalanya buatku.

Setiap aku membuka pagar rumahnya, senyum hangat Shifa menyambutku, berlari kecil ke arahku dan mendorong kursi rodaku. Menyandingkan aku dengan Ridha yang sejak pagi tadi menunggu kedatanganku. Dia sangat cantik, berbalut gaun merah jambu dengan kerudung putih lebarnya, rok panjangnya menjuntai senada dengan sepatu dan kaus kaki yang menutupi jari-jarinya, anggun sekali, sungguh pintar Shifa memadamkan pakaian untuk kakaknya. Perlahan Shifa berbisik mengisyaratkan bahwa aku sudah datang, Ridhapun tersenyum manis sekali dan mengangkat tangannya. Aku buru-buru menyambut kedua tangan halusnya dan tersenyum.

Aku dan Ridha sama-sama berdiam diri sesaat membiarkan angin senja menampar wajah kami. Beberapa saat lalu, aku menceritakan kehidupanku. Aku, Felline Olivier Nathan, adalah seorang gadis yang lincah, ketua cheers yang pintar, pemain basket yang seksi, cantik dan kaya raya. Apa saja aku bisa dapatkan dari orang tuaku, selalu menjadi murid di sekolah favorit, tercatat sebagai mahasiswi Technische Universiteit Delft (TuD), Universitas terkenal di kota Delft, Belanda Selatan. Aku bisa bergonta gati pacar semauku, memiliki banyak teman, semua peduli, dan semua sayang padaku. Tiap minggu aku mengadakan pesta di luar kota, menghabiskan waktu dengan teman-teman, minuman, bahkan memakai obat terlarang. Semua itu atas sepengetahuan orang tuaku, tapi mereka membiarkannya. Aku terbiasa hidup seperti ini, serba mewah.

Hingga suatu saat, keluargaku ditimpa bencana. Kecelakaan maut merenggut nyawa kedua orang tuaku, sedangkan aku harus harus kehilangan kedua kakiku. Musibah itu tak berhenti sampai di situ. Aku divonis kanker paru-paru stadium akhir, mungkin ini akibat banyaknya nikotin yang aku konsumsi selama bertahun-tahun dan aku sama sekali tidak mempeduliknnya. Perlahan harta kekayaan orang tuaku habis untuk biaya perawatanku. Sejalan dengan berkurangnya tingkat konsentrasiku ditiap pelajaran kampus. Teman-teman mulai menjauhiku, entah apa yang ada dalam pikiran mereka seolah jijik dekat denganku, entah karena aku sudah tidak lagi punya uang, aku tak lagi memiliki kaki yang mulus dan lincah dan keadaanku sudah sangat berantakan. Aku frustasi, beberapa kali mencoba bunuh diri, tapi tak jua berhasil.

Hari-hariku selama hampir 2 tahun terakhir mengurung diri dalam kamar. Paman Pieter, satu-satunya keluarga yang tersisa akhirnya membawaku jauh dari kota, meninggalkan Delft. Meninggalkan kehidupanku yang lama, berusaha menenangkanku. Lumayan berhasil, setelah 6 bulan kemudian, aku sedikit bisa tersenyum dan mulai sering keluar rumah dibantu bibi Donna, berkeliling menikmati udara pagi dan sore, check up ke dokter, dan mengunjungi tempat-tempat hiburan. Termasuk terakhir kemarin, aku diajak ke salah satu konser tunanetra yang digelar Om Lucas, yang ternyata sahabat paman Pieter. Dari konser itu yang akhirnya mempertemukan aku dan Ridha, merubah hari-hariku, menjadi wanita yang bersyukur. Melihat Ridha aku merasa sangat malu, ternyata penderitaanku tak ada apa-apanya bagi Ridha. Gadis cantik dengan agamanya yang taat mengajariku segalanya. Meski ia tak pernah melihatku, mengucapkan ‘sahabat’ padaku, namun aku tahu ia adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.

Surat pendek untuk Ridha..
Ridha, sahabat terbaikku. kau memang tak sempat melihatku. Tapi ijinkan aku mensyukuri nikmat hidup sekali lagi dengan meminjam ragamu dan memandang keindahan dunia lewat mataku.

Hari ini, Ridha si cantik berkursi roda mengakhiri alunan nada indah di konser pertamanya yang berjudul “Nada Surga Untuk Felline”

Ridha tersenyum di atas kursi rodanya, memandang jutaan penonton yang memadati ruang konser gedung megah yang berada di City Hall. Kali ini ia memandang dengan kedua matanya, kedua mata sahabatnya, Felline, yang beberapa saat sebelum kematiannya akibat kanker ganas yang ia derita, berwasiat untuk memberikan matanya pada Ridha.

Sebagai rakyat kecil, aku ingin tetap menyuarakan rasa syukur atas berdirinya kota 'kebanggaan' yang sudah mencapai usia ke 484 ini.


 Usia yang sudah tak lagi muda. Sesuai dengan umur yang semakin bertambah, sepertinya kelelahan semakin menggantung di kelopak mata kota besar ini. Terengah-engah mengimbangi teknologi dan kebutuhan masyarakat yang semakin menggila setiap hari. Namun, mereka sama sekali tak peduli usia kota yang semakin renta. Yang mereka tau, semua kegiatan tetap berjalan di atas roda yang menggilas punggung kota dengan nyaman dan senyum kebanggaan. Jerit hati kecil sang kota tua tak lagi didengar dan dipedulikan. Bahkan di hari ulang tahunnya yang kebetulan hari ini menginjak angka 484, semua warga berpesta merayakan kesenangannya masing-masing dengan cara mereka, walau tetap dengan judul “Happy 484th Anniversary for Jakarta” akan tetapi adakah yang peduli pada isak tangisnya. Setiap hari ia menyaksikan pertumbuhan perekonomian, kemodernan teknologi, kemajuan cara manusia berpikir, ulah para remaja yang kadang tak terkontrol, termasuk kelakuan sang intelek dan terpelajar yang kebanyakan masih berhati dan bermulut ‘kotor’. Semua itu ia rekam dalam memori pahit yang senantiasa menjadi kenangan. Resiko menjadi sebuah ibu dari semua kota di salah satu kepulauan asia tenggara di belahan bumi ini. Resiko yang tak mungkin ia tolak keangkuhan sikapnya, keegoisan hati yang berpijak di tanahnya, serta kekejaman yang senantiasa membayangi kebesaran namanya.

Kota tua menjerit, meronta, mengharap kesucian dari apa yang pernah ia lihat, pernah ia rasakan. Kota ini menjadi sejarah kebejatan para orang yang tak bertanggung jawab. Darah berceceran di atas aspal dari kebiadaban manusia yang haus akan harta yang ia rampas dari manusia lain. Di sudut yang lain, bayi tak berdosa tergolek tanpa ada wanita yang mengaku bahwa ia keluar dari rahimnya. Potongan-potongan tubuh manusia yang sejatinya adalah makhluk sempurna tergeletak tanpa identitas. Tangan-tangan mungil dengan sebuah benda sebagai pengiring nyanyian yang keluar dri mulut mereka bergelantungan di angkutan2 yang menyeret nasib hidupnya berada di jantung kota tua ini. Punggung-punggung renta berbalut kain lusuh tergolek lemas di ujung jembatan dengan cawan berisi receh hasil belas kasihan orang yang berlalu lalang. Mata tajam dengan sebilah pisau di pinggang senantiasa bergentayangan di bis kota membayangi langkah-langkah wanita dengan dekapan tas di dada. Ceracau mulut yang tak jarang mengeluarkan isi kotak sampah dan kebun binatang tumpah di jalanan. Wanita-wanita yang secara terpaksa berdiri berjam-jam dipinggiran jalan mengharap ada kendaraan yang berhenti dan membawanya pergi, dan pulang dengan beberapa lembar uang untuk memberi anaknya makan. Antrean panjang mobil dan motor berharga triliunan berlalu lalang memenuhi ruas jalan tiap detiknya, tanpa henti. Asap-asap pabrik mengepul pertanda hidupnya produksi yang kian hari kian bersaing menghidupi pekerja-pekerja yang berseragam keluar dengan gaji yang pas-pasan. Pejalan kaki, anak tak beralas kaki, wanita bermake up tebal dan berhak tinggi, melangkah menyusuri trotoar bahu jalanan berlobang dihiasi pedagang-pedagang yang membentangkan terpal penutup hujan, tak jarang sumpah serapah terlontar dari para pengendara mobil mewah.

Gedung-gedung mewah pencakar angkasa berisi manusia-manusia intelek yang disibukan dengan setumpuk pekerjaannya, dasi dan jas rapi mewarnai hari-harinya, sepatu mengkilat seolah tak boleh ada noda sedikitpun yang menempel karna bersihnya. Wajah-wajah yang hilir mudik bertegger wajahnya di layar kaca televisi. Beradu argumentasi merasa diantara mereka, dia lah yang paling benar, bahkan lebih benar dari pada Tuhan. Berusaha mendapatkan kursi-kursi kekuasaan. Berebut harta tak ubahnya anjing-anjing kelaparan yang dilempar setumpuk tulang sebagai pakan, saling sikut, saling tendang, ingin mendapat yang paling banyak. Mereka sama memiliki mata dan hati. Mata dan hati yang kadang mereka tak bisa membedakan cara memfungsikannya, atau bahkan tak berfungsi sama sekali. Ucapan-ucapan manis acapkali keluar dari bibirnya. Membodohi rakyat kecil yang memang bodoh berada di negeri ini.

Mereka, sang cendekiawan, mengertikah akan jerit tangis sang pengamen jalanan yang tiga hari tiga malam tidak makan. Mereka sang ibu muda yang membuang bayi tak berdosa, pahamkah akibat dari apa yang telah kalian lakukan. Mereka, sang pengemis tua, dimanakah saudara-saudara kalian berada.

Kota tua menangis. Hingga kini, di usianya yang ke 484, ia meminta butakan saja matanya, bekukan sudah hatinya, patahkan tulang punggungnya, lumpuhkan kakinya, kunci mulutnya rapat-rapat. Ia tak sanggup melihat kehidupan liar manusia-manusia yang berpijak ditanahnya. Ia tak ingin semakin tercabik-cabik hatinya oleh perasaan bersalah membiarkan mereka berulah mengotori tubuhnya dengan sampah. Ia sudah lelah dan tak kuat menanggung beban yang selama ini di usungnya. Ia tak mampu lagi berjalan mengimbangi laju globalisasi yang semakin menghilangkan etika, agama, dan estetika. Ia enggan berkomentar apa-apa, bungkam dengan air mata menggenang.

Tiada keramahan, tiada keindahan, tiada kasih sayang, tiada ketenangan, dan ketentraman. Berharap masih ada tangan yang mempedulikan rindunya akan kedamaian hati dan keteduhan jiwa. Jiwa sang kota tua yang terperangkap dalam gemerlap dunia.

Aku, Aisyah Ayya Az Zahir.. mengucapkan “selamat ulang tahun” kotaku, Jakarta, aku peduli padamu.


Berbeda suku, beda pendapat, beda persepsi, mungkin aku masih bisa menyesuaikan. namun, jika bicara mengenai 'agama',, maaf kita tak mungkin bisa sejalan. karena aku butuh 'imam' yang membimbingku, bukan lagi mengenalkan Tuhanku padamu.


Ketika pertama kali ku mengenalmu, aku tak pernah punya perasaan lebih. Jadi aku harap, ketika aku menjauh darimupun aku tak meninggalkan perasaan apa-apa.
Kita begitu jauh, kecuali kau mau menyesuaikan langkahmu bersamaku, berjalan bersama menjalani hidup ini dengan cinta kasih Tuhanku…

Tapi rasanya tak mungkin, kau terlalu hanyut dalam kehidupanmu yang sekarang. Dan aku tak ingin merusak atau merubah semua yang telah menjadi keputusanmu. Karena akupun tak ingin ada orang yang merubah keputusanku..

Aku ingin kembali dekat dengan Tuhanku, tanpa ada beban, dan rasa bersalah yang membuat aku semakih hari semakin takut menghadapi dunia ini. Aku ingin kembali menjadi kekasih yang dicintai Tuhanku. Aku tidak ingin ada orang lain yang lebih disayangi_Nya melebihi kasih sayang_Nya padaku. Aku merasa marah, aku cemburu, pada orang-orang yang dekat dengan_Nya, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa ketika kau masih ada dalam lingkungan hidupku.

Perpisahan memang jalan yang terbaik, ketika aku merasa kau tak bisa mengikuti langkahku. Seandai kita bisa bersatupun, aku ingin tidak ada keterpaksaan menaungi hubungan kita. Selama ini aku baru menyadari, kita sama-sama maksa dengan hubungan ini, padahal tidak pernah ada kecocokan diantara kita.

Aku mohon maaf, telah mengganggu pikiranmu, pernah merusak hubunganmu, pernah memasuki hari-harimu.
Aku tak bisa membalasnya dengan apapun. Mungkin aku akan mencintaimu dengan caraku sendiri.
Yaitu “dengan tidak pernah mengganggumu lagi”.



Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ*•✿ ♥ ✿•♥*•✿ ♥ ✿•♥ *•✿ ♥ ✿•♥*•✿ ♥ ✿•♥ *•✿ ♥ ✿•♥*•✿ ♥*Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ

Ya Robb, aku terperangkap pesona seorang makhlukMu. Serasa tak mampu keluar dari jeratnya
Aku adalah wanita yang sulit mengakui jatuh cinta, terbiasa jika aku yang dicinta dan dipuja. Maka ketika hadir perasaan menyukai seseorang, sebisa mungkin aku membuat dia yang harus mengagumiku.


Tapi faktanya, hadir seorang pria yang dengan sejuta kemampuannya mencuri perhatian dan merampas hatiku. Menjatuhkan aku dalam kubangan cintanya, meminumkan secawan racun yang membuatku mabuk ketika sekali menenggaknya. Dia, pria yang tak bertanggung jawab telah membuatku jatuh cinta. Dan, aku sungguh membencinya. Membenci adanya perasaan ini, jika memang aku harus jatuh cinta, aku berharap bukan pada dia perasaan ini ada.

Aku benci membayangkannya, aku benci mengingatnya, aku benci mengaguminya, aku benci ketika sisa waktuku ku sisihkan hanya untuk memikirkannya. Apalagi jika harus mengakui bahwa ‘aku mencintainya’. Tapi mengapa ia terus menari dalam otakku, mengapa ia selalu masuk dalam mimpiku, menggodaku dengan segala kesempurnaannya. Fisiknya, kecakapan bicaranya, kefasihan agamanya yang menjadikan seolah ia maklauk pria yang pantas untuk aku kagumi. Mengingatnya, membuatku serasa hampir kehilangan akal sehatku. Tak satupun kalimat dari jutaan kata yang dapat mewakili perasaan rinduku.

Robb, aku terperangkap kedalam jerat cinta salah satu makhlukMu. Beri aku secercah petunjukMu bahwa ‘semua itu semu’. Bodohnya aku, terlena dengan ketidakberdayaanku. Aku lemah karena pesonanya.

Ya Robb, aku menyerah. Aku mengaku bahwa aku mencintainya, dan seandainya dia memang ditakdirkan untukku, satukanlah kami dengan keridhoanMu. Namun jika dia hanya sebagai pelemah ketaatanku, maka jauhkan dia dari pandanganku, sekalipun hanya bayangannya aku tidak ingin mengingatnya.
Sesunguhnya cinta adalah anugerah dariMu ya Robb.

Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ*•✿ ♥ ✿•♥*•✿ ♥ ✿•♥ *•✿ ♥ ✿•♥*•✿ ♥ ✿•♥ *•✿ ♥ ✿•♥*•✿ ♥*Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ
Menurutku sepak bola adalah dunia laki-laki, meski tak jarang wanita yang menyukainya. Tetap pakemnya, bahwa itu adalah dunia laki-laki. Dan pantang bagiku menyukai kesenangan yang lebih pada hobby laki-laki.
Aku terlahir sebagai anak emas, satu-satunya wanita yang paling cantik di keluargaku. Paling disayang dan diperhatikan. Apapun yang aku minta, selalu diberikan. Beruntungnya aku tidak pernah minta apa-apa yang berlebihan.
Terlahir sebagai wanita cantik tidak terlepas dari pembahasan hakikatku sebagai wanita anggun. Sejak kecil mereka (keluargaku) mendidik kedewasaanku menjadi pribadi yang lembut dan tenang. Tidak menyukai kekerasan dan bahasa maupun kata-kata yang kasar. Termasuk kesenangan-kesenangan dalam permainanku.

Berbicara mengenai sepak bola, aku pernah tersenyum ketika ada beberapa kawan yang bertanya. “Ay, kamu suka sepak bola?”
Sejak kecil fanatismeku tentang sepak bola yaitu bicara tentang Persib. Yang aku tau, sepak bola itu berarti Persib, belakangan baru aku tahu bahwa Persib adalah salah satu club sepak bola yang berasal dari Bandung. Aku juga tau bahwa Persib bermusuhan dengan club lain, khususnya club yang berasal dari kota tempatku tinggal, Jakarta (Persija). Aku juga tau dari cerita kakak laki-lakiku yang memang terlahir beratribut Persib. Aku tidak pernah bisa merasakan dendam yang bersarang diantara mereka (Pesib dan Persija), meski orang-orang disekitarku setiap saat mengobarkan kebencian mereka satu sama lain dengan sejuta alasan yang membuat mereka pantang berdamai, sementara aku tetap satu hati bahwa aku tidak peduli dan tidak mengerti. Pernah aku iseng mencoba menonon tayangan sepak bola, itupun di televisi. Tapi selama hampir 2 jam pertandingan aku tonton, selama itu aku tidak tau siapa lawan dan siapa kawan, bahkan gawang club yang aku jagokan ajah gak tau sebelah mana. Sejak itu aku memang mengukuhkan dalam hati bahwa aku memang tidak suka sepak bola.

Menurutku sepak bola adalah dunia laki-laki, meski tak jarang wanita yang menyukainya. Tetap pakemnya, bahwa itu adalah dunia laki-laki. Dan pantang bagiku menyukai kesenangan yang lebih pada hobby laki-laki. Rasanya aku merasa tidak lagi cantik, ketika harus berjingkrak bahagia ketika sang kiper lawan kebobolan gawangnya. Aku tetap lebih memilih menghiasi rambut barbieku dengan jepit berwarna warni daripada duduk sejajar dengan kakakku menyaksikan tayangan sepak bola.

Namun, beranjak dewasa. Ketika tuntutan karierku sebagai seorang reporter yang memaksa harus mengetahi dunia berita, apapun. Menjadikan aku mengerti dunia olahraga termasuk sepakbola. Tidak nyaman memang, karena tidak paham. Namun, mau tidak mau aku ikuti juga setiap beritanya. Sejak itu aku mulai jeli melihat apa-apa yang terjadi pada olahraga, sepak bola, dan pada Persibku dan Persijaku. Aku menyebut_ku karena berkeputusan untuk tetap tidak mau berpihak pada satu club. Aku memperhatikan apa yang mereka katakan dan slogankan. Salah satu yang kupetik adalah, ada satu nama hewan yang sangat terkenal di kalangan para suporter mereka, Viking (untuk Persib) dan The Jack (untuk Persija). Kata-kata itu tak asing kudengar dari bibir mereka. Ada banyak kata yang lebih kasar, yang kerap kujumpai dari tulisan, sticker, yang berbentuk cacian, hujatan dan saling menghujat dengan bahasa yang menurutku tidak pantas terlontar dari mulut orang-orang berpendidikan seperti mereka. Namun begitulah kenyataannya, begitu faktanya, yang membuat seakan-akan diskenariokan bahwa dua suporter club sepak bola terbesar di Indonesia itu terus bermusuhan hingga maut memisahkan.

Aku tidak bisa bicara meski hanya satu kata “damai” pada mereka, karena aku tau akibatnya. Jangankan aku berhadapan dengan jutaan manusia yang mendukung Persija, bicara pada kakakku saja, satu orang pendukung Persib aku tidak bisa.

Setiap hari aku ikuti berita mereka, dari blog, twitter, bahkan hingga updatean status facebook. Mengejutkan ketika salah satu tulisan ku baca, bahwa ‘permusuhan’ diantara mereka sebenarnya adalah ladang uang bagi para petinggi sepak bola, entah apa alasannya. Andai permusuhan itu didamaikan, mungkin mereka akan miskin. Aku juga pernah mendengar seloroh kakakku, “kalo Persib dan Persija akur, baju gak ada yang laku.” Agak sedikit berpikir, tapi aku mengangguk juga. Sulit memang

Aku yakin, sudah banyak individu atau instansi yang berpikiran untuk mencari jalan damai bagi dua suporter tersebut. Namun, entahlah mungkin memang naskah yang dituliskan untuk hubungan ‘mereka’ tidak akan diakhiri dengan jalan damai. Kecuali, sang penulis skenario takdir membelitkan jalan cerita menjadi sesuatu yang menarik dengan tetap tidak menghilangkan tokoh utama dari mereka, bisa saja, semua suporter club sepak bola pria menikah dengan suporter sepak bola wanita dari pihak musuhnya. Mau tidak mau, akan damai dengan sendirinya, minimal masing-masing bisa menghormati mertua mereka, kan?

Andai aku yang ditakdirkan sebagai penulis naskah untuk mereka mungkin aku punya cerita menarik untuk mengakhiri cerita (Persib dan Persija).

Hanya sekedar catatan tidak penting.

Pagi ini ku ukir senyum terindah untuk seseorang yang juga senyum pada mentari, di sana mata kita bertaut, ku harap ia menyatukan dua hati yang lama terpisahkan oleh jarak yang bernama Takdir.

selamat pagi cintaa... :))




Aku ingin matahari dan senyummu berlomba siapa yang lebih dulu menyapa ketika pertama ku buka mata dari lelapku.

 Pagi selalu menyisakan sejumput mimpi yang tadi dilalui,, segurat senyum hangat menyemangatiku untuk melewati hari ini hingga senja nanti. Di sajak cintaku, namamu kusapa lewat kata-kata.

Semilir angin sejuk di pagi hari membangunkan ku dari sebuah mimpi, tetes embun yang membasahi hati menenangkan sepotong jiwa yang hampir mati, segurat senyum yang hadir di hari ini memaksa jiwa tuk membentuk mimpi menjadi nyata.

Pagi selalu menyisakan senyum bagiku, entah apapun rahasia dalam hari ini yg akan kulewati, aku tak pernah penasaran untuk mengungkap. Aku hanya ingin bergerak menembus angan, mewujudkan harapanku. Membuat hidup yg membaca teka teki dalam langkahku.

Tiap kali aku membuka mata, aku selalu berusaha untuk tidak mengingat mimpi yang baru saja ku alami. Aku enggan menjadi korban buaian keegoisan malam. Karena aku lebih menyukai mimpi yang bukan berasal dari tidur.

Buka mata, jejakkan kaki telanjang pada rumput yang dibasahi embun, perlahan hirup udara masuk memenuhi rongga dada biarkan melewati aliran darah, bersihkan hati, tersenyum dan salam sapa pada orang sekitar. Awali pagi dengan cinta, pastikan harimu akan baik-baik saja.

Lelah semalam berpikir mencari titik ujung tajamnya rindu tentangmu, rindu pujaan hati yang tak bisa kujumpai dalam jarak hitungan bulan bahkan tahun, sungguh menyiksaku. Membuat pagi ini aku terlambat menyapa mentari. Ia tersenyum, dan bergumam "cinta, tetap setia menunggumu."

Pagi ini aku mengabaikan sapamu, ku bawa langkahku hanyut dalam kesibukan dengan tanpa mengingatmu. Kelak, menjelang senja kau kan ku jemput masuk dalam bayanganku. Menjelajahi malam dengan berbagi cerita apa yang terjadi sepanjang hari ini, cinta

Sang mentari,, marahkah kau padaku, karena terlambat menyapamu. Aku mengaku, terlalu tebuai mimpi malam sampai tak sadar kau tlah hadir menggantikan sang rembulan.

Sejak subuh tadi,, ada yang hilang di pagi ini, senyum khasmu. Aku tidak mendapatinya seperti pagi-pagi yang lalu. Namun begitu, aku tetap bangun lebih awal daripada sang mentari yang akan menghangatkanmu dengan rindunya.

Sungguh, tiada yang lebih menentramkan hati selain mendengar lembut kumandang adzan subuh. Memercikkan air suci dan memenuhi perintah Sang Kuasa,, menghirup udara nan segar dengan setetes embun penyejuk jiwa. Aku terkagum-kagum dengan kuasa Ilahi pagi ini. Subhanallah,, selamat beraktivitas duhai cinta

Pagi yang selalu menyimpul rindu, aku tersipu mendapati kasihmu yang kau sampaikan lewat tetes embun yang membasahi hatiku. Aku tak kuasa menolak tuk mengatakan, bahwa aku mencintaimu." Ujar daun pada ranting.

Aku bertanya pelan pada mentari, mengapa kau membuat rembulan menangis tadi malam, sedangkan pagi ini kau berdiri dengan gagahnya?" begitukah cara kalian saling melengkapi? Tetap kusapa "selamat pagi cintaa.

Didingin subuh ini, tanpa sapamu adalah lebih menusuk sanubari. Aku mencoba memaknai tetes embun yg setia membasahi daun di pagi hari, seperti senyummu yang senantiasa menyejukkan hatiku setiap waktu." selamat pagi cintaku


Kumandang adzan subuh membangunkan lelapku, tetesan air suci menyegarkan jiwaku. Bersimpuh di hadapan_Mu. santun ku ukir kutipan doa tuk memuja_Mu yang ku tutup dgan Amienku. Perlahan, ku rasakan detak jantungku, ku resapi tiap udara yg masuk ke paru2, ku hembuskan pelan seraya terpejam, indahnya suasana pagi ini."
Terima kasih, ya Rabb

Sontak aku tersentak mendapati matahari sudah mulai tinggi,, aaakkh aku terlambat menyapanya lagi. Peluk rembulan seakan melumpuhkan penatku sejak semalam.

Tiap kali aku membuka mata, aku selalu berusaha untuk tidak mengingat mimpi yang baru saja ku alami. Aku enggan menjadi korban buaian keegoisan malam. Karena aku lebih menyukai mimpi yang bukan berasal dari tidur.

Setiap dini hari menjelang fajar, ragu semakin hilang, terbangun dari khayal semu, mencoba meyakinkan hati bahwa inilah kehidupan nyata. Waktunya bermanja-manja dengan Yang Kuasa, tak lupa membuat menu sahur sederhana :)) *mimpi pasti cemburu

"Apa kau lelah menemaniku?" Tanya malam kepada hening. Ku harap kau tetap bersamaku, karena dengan sepimu aku bisa membaca pikiran-pikiran alam yang selalu berdekatan dengan kelamku. Tanpa kesunyianmu, aku ragu bahwa mereka akan selalu mendekapku, tanpa sedikitpun terpikirkan hanyut dalam cahaya yang menggemerlapkan jiwa sepasang merpati jatuh cinta.
      
"Tetaplah hidup sayang, karena detak jantungmu lah yang membuatku bertahan di dunia ini." Bisik harimau jantan pada kekasihnya yang sekarat. Darah mengucur dari dadanya sederas air mata yang mengalir. Burung hantu menyaksikan iba, didampingi kelelawar yang terbang mencari mangsa. Angin seakan berhenti berhembus, lolongan anjing terhenti seketika, malam semakin memasuki kelam, sekelam hati sang harimau jantan.

Aku menyukai malam dengan mengingatmu, sebelum akhirnya aku terlelap diselimuti rindu hatimu. Aku tau beberapa menit kemudian kau akan membangunkanku, kau kecup keningku di akhir sujudmu. Disela untaian tasbih dan doa selalu kau selipkan namaku. 'itu ucapmu, cinta'

Terdiam,, melangkah pelan. Menyusuri penghujung malam dengan secuil kerinduan. Semilir angin menerbangkan sepenggal angan, dan asa. Bilakah sang arjuna datang dengan senyum terindah berbekal iman menggenggam erat tangan rapuhku, dan membawaku ke dalam keridhoan_Mu Ya Robb

Merindukanmu, persis seperti merindukan indahnya pelangi di malam hari. Tak mungkin nampak, meski sebelumnya alam telah basah diguyur hujan. Aku terduduk di dalam sepi, menikmati aroma bunga yang tumbuh berkembang di dalam hati. Karena meski tak terlihat, di dalam sini, tetap namamu sudah terpahat.


Lebih dari rindu, tak terungkap. Perasaan timbul ingin berada di dekatmu, aku ingin desir darahku bisa kau rasakan, detak jantungku bisa kau dengar perlahan. Lebih dari rindu, tak terlukiskan. Mulutku bungkam tak bersuara, aku ingin menatap kejujuran yang terpancar di matamu, membaca isyarat tiap gerakmu. Lebih dari rindu, malam ini aku memujamu.
       Senja mulai menghampiri, menarik paksa anganku tuk menikmati aroma sore hari di sudut kota besar ini. Senyum merebak dari semua bibir yang kebetulan berbenturan tatap mata denganku. Semua yang kutemui di hari ini, selalu ku jadikan inspirasi

Senja selalu menebarkan kerinduan,, Jakartaku Jakartamu,, ku tulis sebuah novel senja untuk mengisi waktu di puncak tertinggi gedung tua sudut kota ini. Lalu lalang pejalan kaki yg tampak dari menara, status facebook dan TL twitter sahabat2ku, ku jadikan inspirasi.

Ketika senja menjanjikan keindahan, malam menyuguhkan mimpi dan ketenangan, maka pagi selalu memberikan udara segar untuk membangkitkan semangat dan membangun mimpi menjadi kenyataan

SENANDUNG SENJA
Senja ini,, ku tarik simpul rindu dan membentangkannya di sejuk langit dengan seutas benang cinta, berharap angin membawanya menuju ke arahmu,, beserta awan yang berarak indah.

Senja melahap sang mentari, semburat jingga meronakan pipiku ketika ku terima pesanmu, kalau kau merindukanku.

Langit senja berkalung pelangi,, aku tertegun memandang indahnya. Decak kagum tak tercurah. Bayang seorang wanita tampak jelas, ibuku.. aku rindu.
Rindu belai dan nasihatmu, "Jadilah wanita yang dikagumi karena akhlak dan perangaimu nak, seperti pelangi itu... dipuja semua orang tapi tak satupun mampu menyentuhnya.

Senja mulai merangkak mendekati malam. Lembayung jingga berubah warna menjadi kelam. Lampu kota mulai menyala, pertanda alam berada di penghujung siang. Tetes air suci membasuh peluh, bibir syahdu mengalunkan ayat suci meruntuhkan nafsu. Menghilangkan amarah, mententramkan jiwa. Betapa nikmat kuasa Allah SWT.

Bersamaan dengan tergelincirnya mentari ditelan senja, saat itu pula aku menuntaskan rindu yang tertuang dalam cerita. Gumamku, sepanjang hidupku, aku akan menjadi penulis yang akan selalu merangkai aksara alam menjadi kata agar tercipta nada cinta.

Sepanjang jalanan Jakarta dipenuhi makhluk2 bernyawa dengan isi kepala yang sungguh luar biasa. Senja ini aku menyisir menapaki tepian taman menghampiri satu tujuan, masa depan.

Semilir angin dipenghujung cahaya siang,, menerbangkan emosi meredam amarah, menghilangkan sedikit keletihan. Begitupun aku, terduduk di titik kesendirian, penuh senyum ku sapa mentari senja yang perlahan mulai beranjak dari singgasananya. Mentari, andai esok aku sudah renta, ku harap senyummu masih sama dan cinta kita tetap seperti remaja. Seperti hari ini

Dengan menatap jingga di cakrawala, ijinkan aku menyimpulkan rahasia di penghujung hari. Lembaran cerita di tanggal ini, ku jilid rapi dengan lembaran-lembaran penuh makna. Sekawanan burung bergerombol menatap ceria, ini adalah hari pertama ku mengenalkan arti hidup padamu, arti kehidupan yang sesungguhnya.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

About Me

Suka menulis, rajin membaca dan gemar menabung. Aktif nge-Blog dari 2010.

Subscribe & Follow

Popular Posts

  • Whitelab, Skincare yang Mengandung Niacinamide dan Collagen Pencerah Wajah, Harga Murah
  • Bebek Mak Isa, Nasi Bebek Terenak di Dunia
  • Why I don’t post a photo of my kid on Social Media?
  • 5 Kolam Renang Terlengkap di Depok, Jawa Barat
  • 5 Snack Diet Murah di Indomaret, Alfamart

Blog Archive

  • ►  2021 (8)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2020 (47)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (1)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (16)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2019 (53)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (11)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (14)
  • ►  2018 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2016 (6)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Februari (5)
  • ►  2015 (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2014 (4)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2012 (61)
    • ►  Oktober (8)
    • ►  September (11)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (11)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (8)
  • ▼  2011 (53)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (10)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (19)
    • ▼  Juni (11)
      • GIE ✿Puisi Terbaik✿
      • Cerpen: GW BENCI SEPAK BOLA
      • ✿Surat untuk Ridha✿
      • Potret Buram Kota Jakarta (di hari ulang tahun yan...
      • Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒketika KEYAKINAN kita BERBEDAƸ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ
      • (¯`*•.¸JIKA ♥'CINTA'♥ MENGHAMPIRI¸.•*´¯)
      • Sepak bola sama dengan *PERSIB dan PERSIJA*
      • *CINTA, SELAMAT PAGI*
      • Puisi Panjang
      • SENANDUNG SENJA
      • BISIKAN RINDU
  • ►  2010 (4)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)

Part Of

Blogger Perempuan
1minggu1cerita

Teman Blogger

Subscribe to my newslatter

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Styling By Yanikmatilah Saja | Theme by OddThemes.

COPYRIGHT © 2020 Aya Zahir | Origin by OddThemes. Styling by Yanikmatilah.