Menikahlah, jika kamu sudah 'selesai dengan diri sendiri'.
Saya pernah membaca tulisan berbunyi kalimat di atas, kalimat yang memiliki makna banyak. Dan saya mengartikannya sebagai sebuah kesiapan mental, tidak hanya perkara finansial.
Saya tidak sedang berbicara usia, kemapanan materi, atau juga perihal jodoh dan takdir yang datang di waktu yang bahkan tidak pernah kita duga.
Tetapi, ketika itu akhirnya tiba, pastikan bahwa kita sudah selesai dengan segala permasalahan yang melibatkan diri sendiri.
Pribadi yang dewasa memiliki tanggungjawab penuh atas pribadinya masing-masing. Tentang impian, keinginan, cita-cita, apa yang membuat kita bahagia dan perkara apa yang tidak disukai.
Tidak hanya menyoal itu, kita pun bertanggungjawab atas isi pikiran dan raga/fisik kita sendiri. Karakter, perilaku, aksi, apapun yang sudah kita lakukan hendaknya kita siap dengan semua konsekuensinya.
Itu semua, selesaikan ketika kita masih sendiri. Single. Jomblo
Sendiri artinya kita tidak memiliki tanggungjawab terhadap hidup orang lain. Kita juga tidak mempunyai hak untuk menuntut oranglain memperlakukan kita seperti apa.
Traveling sendiri, jalan-jalan tiap akhir pekan tanpa gangguan, rasa egois, sifat manja, keras kepala, pemarah, pemalu, dan segala jenis karakter dan perilaku yang tidak menimbulkan sebab akibat atas kehidupan orang lain, kita sendiri yang mengendalikannya.
Dan semua, selesaikan ketika kita masih sendirian. Belum ada pasangan.
Apalagi memiliki buah hati yang sepenuhnya adalah tanggungjawab kita sebagai manusia yang diberi amanah.
Apa makna selesai dengan diri sendiri?
Saya sederhanakan dengan berdamai dengan kondisi. Mampu mengelola emosi. Control diri, terhadap perihal apapun.
Setelah menikah, kita tidak lagi bisa 'terserah aku', 'aku kan dari kecil gini orangnya, kamu harusnya tau dong'.
Cekcok dengan pasangan karena perkara masing-masing berdiri atas ego sendiri. Adu argumen atas apa-apa yang dirasa pendapat kita paling benar. Merasa lelah mengurus anak karena rewel dan nangis tiap hari. Tidak ada waktu rutin me time, tidak bisa melakukan apapun terserah tanpa gangguan.
Karena ternyata kita belum selesai.
Kita belum siap menerima harus berbagi fokus hidup dengan memikirkan orang lain. Kita masih ingin lebih mendahulukan kepentingan kita. Rumah tangga adalah beban.
Ketika seorang hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan setengah agamanya. Maka bertaqwalah kepada Allah pada setengah sisanya. ~ H.R Anas bin Malik RA
Rasulullah pernah mengatakan kalimat indah untuk pasangan yang menikah. Hidup sendiri ternyata belum dianggap 'sempurna' untuk perkara dunia.
That's why itu berat sister. Kamu ga akan kuat kalau gak paham ilmunya. Kamu akan merasa beban kalau gak tahu manajemen emosinya. Kamu gak akan siap kalau belum selesai dengan urusan diri sendirinya.
Kenapa ibu-ibu kerap dicap bawel oleh semesta? Iya bener, semesta. Manusia di belahan dunia manapun tahu, kalau perempuan itu (apalagi kalau sudah jadi ibu-ibu) dianggapnya marah-maraaahhh terus. Kenapa sih?
Banyak jawabannya. Kepanjangan ga sih kalau ditulis di sini. Ibu-ibu bakal punya 5 juta alasan untuk defense label bawelnya.
Bagaimana Manajemen Waktu Ibu Bekerja yang Seimbang?
Saya juga seorang perempuan dan seorang ibu. Masuk dalam katerogi ibu-ibu berlabel bawel tadi. Untungnya sampai saat ini ga dapet label 'bawel-bawel' banget sih ðŸ¤
Pasangan (suami/istri), anak, adalah 'orang lain' yang muncul dalam hidup kita di separuh perjalanan hidup dan ibadah yang kita jalani.
Mereka adalah orang baru yang memiliki kewajiban serta hak yang terikat sepanjang semesta menentukan tadir ada dalam hidup kita. Selain diri sendiri.
Manusia baru, karakter baru, sifat baru, semuanya hal yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Kemudian mereka ada, dan kita memiliki tanggungjawab atas perkara yang harus wajib kita lakukan.
Lalu bagaimana kita bisa hidup bersama? Bagaimana kita bisa memberi hak atas kehidupan mereka? Bagaimana kita berdamai dengan kondisi, ketika kita belum selesai dengan diri sendiri?
Pasangan dengan hak-haknya yang harus kita penuhi. Anak-anak dengan hak-haknya yang wajib kita cukupkan. Berat, jika kita masih sibuk dengan ego dan mengutamakan kepentingan pribadi.
Itu sebab kita perlu perbaikan mental, manajemen emosi, kontrol diri sendiri agar bisa berjalan beriringan. Tahu bahwa apa yang kita lakukan semata-mata adalah ibadah.
Taat pada suami, bukan hanya karena mereka kepala rumah tangga yang memberi kita sandang, pangan, papan atau ngasih jajan tiap hari. Namun taat karena Allah perintahkan. Tunaikan hak-hak mereka tanpa banyak syarat, tanpa ada kewajiban imbal balik mereka harus baik atau 'ya tergantung suaminya gimana dulu'.
Kalimat 'tergantung suaminya gimana dulu' adalah sebuah gambaran dan cerminan diri bahwa mereka merupakan refleksi atas apa yang kita lakukan dan prasangkakan selama ini.
Mendidik dan mengasuh anak-anak adalah amanah dari Sang Maha pemilik semesta, titipan, yang kita bisa menjaga dan memastikan kehidupan mereka baik dan kembali dalam keadaan baik.
Lelah, pasti. Fisik, perasaan, emosi, amarah, sepaket dengan ujian ekonomi yang 'duh ya kok hidup kita gini-gini aja'.
Support system terpenting untuk menjaga kewarasan dan emosi adalah orang terdekat, yang artinya adalah pasangan. [Yaa mungkin sesekali minta pendapat orangtua, boleh lah, untuk perkara yang meminta pendapat mereka].
Support system istri ya suami dan anak-anaknya. Support system suami, ya anak-anak dan istrinya.
Bagaimana ketika sistem itu kita hancurkan. Ketika berselisih dengan pasangan, perempuan memaki atau suami teriak tanpa belajar adab bagaimana cara menyampaikan.
Melarang anak-anak dengan amarah, bentakan, dengan alasan 'udah habis kesabaran'.
Manajamen emosi dan menyelesaikan ego setelah pernikahan itu butuh mental yang kuat. Kita harus siap. Maka di kondisi apapun, kita tahu bahwa memang tugas kita sekarang, ya seperti itu.
Baca juga dong Menjaga Diri Tetap Waras
Ada banyak ilmu parenting dan nasehat pernikahan yang bisa diikuti siapapun, gratis maupun berbayar. Tidak ikut pun hak masing-masing, kita hanya cukup berdamai dan pastikan telah selesai dengan diri sendiri. Sebelum menghabiskan hidup dengan 'orang lain'.
Akhir-akhir ini saya kerap merenung, bahwa dedikasi hidup saya semakin mengerucut dengan lingkaran yang berputar-putar hanya dari dan kembali ke suami dan anak-anak saja. Mereka adalah rumah saya.
Tidak pernah terpikir untuk wajib sebulan sekali hangout dengan teman-teman sekolah/kuliah, menitipkan anak-anak ke orangtua karena lelah harus mengurus mereka setiap hari, gampang marah karene lalah dengan pekerjaan rumah yang gak ada selesainya, bentak anak karena emosi yang meledak-ledak.
Rasa lelah fisik dan perasaan saya, tidak bermakna apa-apa, karena tahu bahwa itu adalah kewajiban yang memang sudah semestinya saya lakukan.
Bukan 'hanya' me time, cara mengendalikan emosi dan menjaga diri tetap waras ternyata kita harus tahu ilmunya. Dalam agama Islam, semua sudah ada panduan. Tergantung apa kita mau menerima dan mempelajarinya.
Saya latihan tiap hari tentang manajemen emosi.
Karena saya sedang berusaha selesai dengan diri sendiri.