Jakarta, 14 Mei
2014
Ini konyol. Hampir dua tahun tidak menulis apapun.
Sebab beberapa orang berkata, jatuh cinta yang akan
membuatmu kembali menulis (Berpuisi), atau patah hati. Atau bukan keduanya. Aku
tidak setuju.
Tapi itu benar.
Benar bahwa aku sedang jatuh cinta.
Usiaku dua lima. Usia yang ganjil untuk ‘baru’ kembali
merasakan jatuh cinta. Sebab aku tidak terlalu sibuk untuk sekadar memikirkan sesuatu
itu, seharusnya. Sebab aku punya banyak alasan untuk menyukai banyak pria
dengan berbagai perangainya.
Tapi kemudian, sebab-sebab itu nyatanya tidak sama
sekali menjadi alasan dari semua yang harusnya aku setujui.
Satu dari beberapa lelaki yang aku membenarkan ketika
ditanya “Apa aku mencintainya?” atau mungkin tidak. Maksudnya, belum.
Lelaki yang mungkin memiliki sifat yang beberapa lelaki
lain juga miliki. Lelaki yang barangkali tidak banyak memiliki sifat-sifat yang
selama ini aku inginkan. Tapi beberapa kali aku membantah, “Tidak. Aku sama
sekali tidak mencintainya. Hanya sedang lebih aku perhatikan”.
Apa bedanya?
Sebab ketika bahkan angin sedang malas berbagi cerita. Lebih
tepatnya aku yang membosankan dengan mengulang-ulang cerita yang sama. Menulis
adalah pilihan cerdas.
Sebab ketika pada suatu saat, seandainya aku bisa
bertemu dan berbicara banyak dengan lelaki itu, kemudian suatu saat. Aku akan
bercerita “Aku mencintaimu. Dan sejak sangat dulu. Dan tulisan ini untukmu. Coba
kau baca.” Dan dia tersenyum. Aku tentu saja, bahagia.
Berandai-andai adalah hal yang menyenangkan bagi
siapapun yang sedang jatuh cinta. Atau sekadar menyukai seseorang. Aku, begitu
juga.
Berandai-andai di mana takdir menuliskan “Kapan aku bisa
bertemu dan bercakap-cakap tentang sesuatu yang seru dan menyenangkan”.
Bukan persoalan bahasan apa yang membuatku merasa
senang. Bertemu dan bercakap-cakap hanya dengan lelaki itu, di mana pun,
pembahasan apapun, aku pikir akan sama menyenangkan.
Berandai-andai, takdirku bertemu dengannya di angkutan
umum. Di dalam pesawat ketika kebetulan kita memiliki sama destinasi. Atau
mungkin di kantin yang sama ketika tidak sengaja memilih menu yang sama.
Kenyataannya, pengandaian itu hanya kembali bertemu di
satu titik. Lorong.
Tidak sulit sama sekali menemukan takdir untuk bertemu
dengan lelaki itu. Aku sama-sama bekerja di perusahaan yang sama. Memiliki
seragam yang sama. Atasan yang sama. Gedung yang sama. Security yang sama.
Takdir untuk memiliki percakapan-percakapan seru dan
menyenangkan yang entah. Dan pengandaian-pengandaian itu lah yang selama ini
terus terpikirkan.
Ini bukan lelucon. Aku bahkan harus mencari lebih dari
5000 akun social media seseorang yang barangkali bisa menemukan akun lelaki
tersebut. Dan akhirnya aku menemukannya.
Tidak ada alasan lebih masuk akal untuk menyangkal bahwa
aku hanya sekadar ingin mencari tahu tentang dia dan penasaran. Sebab jelas,
aku meng’iya’kan ketika malam yang entah kesekian kalinya bertanya “Iya, kamu
jatuh cinta?”
Usiaku dua lima. Dan aku baru kembali merasakan jatuh
cinta.
Beberapa alasan yang sedikit terdengar aneh barangkali.
Ketika aku yakin bahwa aku tidak terlalu mudah jatuh cinta. Ada fase yang rumit
dan panjang untuk benar-benar aku meyakinkan diri bahwa aku benar jatuh cinta
atau tidak.
Akhir-akhir ini membaca masih menjadi salah satu
rutinitas yang tidak bisa diubah. Meski pekerjaan baruku terlihat sangat sibuk
atau tampak dibuat seolah-olah seperti itu.
Dan sesekali di lembar ke-sekian. Ketika jeda membuka ke
halaman berikutnya. Aku berpikir, apakah lelaki itu suka membaca? Apa yang ia
baca?
Aku lebih sering memiliki pikiran-pikiran yang beberapa
lain akan berkata ‘membosankan’. Aku berpikir ketika aku bertemu pada takdir
memiliki percakapan panjang tentang buku yang sama-sama kita baca.
Ketika memulai percakapan itu.
“Kau suka tokoh Pilar?”
“Aku menyukainya. Tapi dia bodoh. Cinta itu tidak bisa
disangkal. Bagaimana dia dan masa kecilnya begitu sepakat untuk mengatakan
tidak pada seseorang yang dia jelas-jelas cintai”.
“Bagaimana dia bisa mencintai pemimpin spiritual yang
tampan dan karismatik? Dia seorang imam. Suci”.
Kemudian aku tidak mendengar lagi apa yang ia bicarakan.
Sebab memandangnya jauh lebih penting. Dan kelemahanku adalah AKU TIDAK BISA
MEN-DEBAT ORANG YANG SANGAT AKU SUKAI.
Memiliki persamaan pemahaman dalam hal apapun, sama
sekali tidak menyenangkan. Bahkan cenderung membosankan. Kira-kira ada beberapa
orang yang memiliki anggapan sama seperti itu.
Satu dua kali saling lempar senyum di lorong. Kantorku.
Kantornya juga. Dan aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tanpa
kacamata.
Aku mencintainya. Detik itu juga. Dan di detik-detik
setelahnya. Sampai entah.
Sebab mencintai seseorang itu selalu menyenangkan. Ada
alasan untuk tidak lantas tidur untuk berpura-pura sangat lelah bekerja
seharian.
Sebab mencintai seseorang itu selalu menyenangkan.
Sebelum akhirnya ada percakapan-percakapan malam yang panjang.
Tanpa sepengetahuan lelaki itu, tentu saja.
Ketika takdirku tidak untuk memiliki percakapan panjang
dengannya. Aku masih punya harapan, barangkali takdirnya untuk menemukan dan
mempersiapkan percakapan yang panjang denganku.
Kemudian aku menulis. Dan semakin
yakin. Aku jatuh cinta.