Besok tahun baru. Resolusi 2021, pengen bisa lebih banyak nulis dan lebih banyak baca buku.
Waktunya sih ada, kadang ngumpulin niatnya itu yang lama. Bahkan sepanjang 2020, saya cuma bisa ngisi blog kurang dari 50, dan masih punya sederet buku yang belum kesentuh. Oh tidak.
Ini beberapa judul buku yang belum saya selesaikan, ada yang sebenarnya sudah pernah baca via e-book, tapi akan selalu saya baca ulang versi buku fisik. Sensasi dan feel-nya tuh tetep beda, gak tahu kenapa.
Sebagai generasi yang lahir di akhir 80an, saya tidak
sepenuhnya mencintai semua produk digital. Buku salah satunya. Meski kekinian banyak
electronic book berbayar atau gratisan, berjamurnya aplikasi membaca buku
online, tapi tidak membuat saya beralih dari buku fisik ke buku elektronik.
Sesekali pernah baca e-book ketika melakukan perjalanan dan
lupa bawa buku, atau ketika di kendaraan malam-malam, e-book emang bisa dibuka
di ponsel tanpa butuh penerangan tambahan. Selebihnya, saya masih jatuh cinta pada
buku fisik dengan segala aroma khas ketika membalik kertasnya.
Saya pernah review Norwegian Wood karya Haruki Murakami
Atau Perempuan di Titik Nol Nawal el - Saadawi juga bisa dibaca di sini
Beberapa tahun lalu, ketika belum sibuk mengatur keuangan
rumah tangga dan kebutuhan anak, saya bisa menghabiskan 40% dari pendapatan untuk
beli buku baru setiap bulan. Sekarang, duh kok kayaknya sayang ya. Mode 'Emak-emak'nya auto ter-install di pikiran.
Tapi demi bisikan hati dan panggilan jiwa yang meronta-ronta
setiap bulan wajib banget beli buku, meski cuma satu, di situlah tercetus ide
bahwa saya masih bisa mendapatkannya dengan harga kurang setengah dari budget
yang seharusnya.
Sejak saat itu, perburuan buku second original saya
dimulai. Ternyata nagih banget sahabat.
Belinya di mana aja, bisa dari Facebook, Instagram, atau
pernah juga via e-commerce. Seleksi dari profile penjual, seberapa serius mereka
buat narasi promosi, dan apakah bukunya benar-benar bekas original. Karena meski
sekarang banyak buku dijual murah separo harga, tapi semuanya buku bajakan
alias kawe. Sad ☹
Gak usah diceritain lah ya apa alasan kita gak boleh beli
buku palsu. Pasti sudah pada tahu. Nah sekarang saya mau berbagi alasan kenapa
saya kecanduan beli buku bekas original.
Berikut alasan yang saya punya, kenapa beli bekas itu menyenangkan?
Harga Lebih Murah
O jelas, ini pertimbangan nomor satu kenapa akhirnya saya
memilih beli buku bekas. Harganya bisa dua hingga tiga kali lipat dari harga
baru. Selain karena waktu, kondisi masih bagus atau cacatnya juga berpengaruh
sama harga jual. Makin lama bukunya, makin murah harganya.
Kualitas original
Meski bekas, saya tidak pernah beli buku bajakan. Kualitas originalnya
masih tetap bisa dipertahankan, lebih beruntung lagi kalau ketemu penjual yang
self reader alias buku kolpri yang emang suka baca tapi gak doyan ‘nimbun’ buku.
Akhirnya setelah dibaca dua tiga kali dia jual murah. Nah, penjual model begini
nih yang selalu saya buru. Wangi barunya masih kerasa, tapi harganya jauh lebih
murah.
Nilai History
Ada beberapa penjual buku kolpri (koleksi pribadi) yang dia
sayaaang banget sama bukunya, disampul rapi, kertasnya gak dilipat dan gak bernoda
sama sekali. Pernah juga pemilik buku yang punya tanda tangan asli lengkap dengan
notes penulisnya. Happy banget, dapet buku yang punya nilai sejarah dari si
empunya sebelumnya. Biasanya alasan mereka menjual buku yang punya nilai
sejarah pribadi itu lebih ke sedang butuh tambahan uang, mau pindah rumah, rak
bukunya udah gak cukup, dan sebagainya. Jadi bukan karena gak sayang.
Perbanyak Teman
Setelah beberapa tahun memburu buku second, saya bahkan
punya teman akrab dari komunitas pecinta buku bekas. Saling bertukar informasi
tentang ketersediaan buku second di toko ini atau di postingan si anu. Berbicara
dengan orang yang punya hobi sama itu selalu menyenangkan. Obrolannya nyambung,
pembahasannya ya gak jauh-jauh dari penulis favorite atau cerita kesukaan. Banyak
teman, tentu banyak rezeki. Seenggaknya rezeki informasi ter-update ketika ada
buku atau novel langka dilelang murah. Ehe
Banyak Pilihan
Buku original baru pasti punya rate harga sesuai penghitungan
penulis dan penerbit. Harganya jelas sama. Kalaupun beda antara toko buku 1 dan toko
yang lain, gak akan terlalu signifikan perbedaan harganya. Sementara buku
bekas, benar-benar bervariasi. Saya pernah membeli buku Pram asli, dari akun
sebelah Rp250.000, dan dapat dari tangan lain yang sedang butuh uang alias BU
dijual dengan harga hanya Rp150.000,’ rezeki anak sholeh. Pinter-pinter cari
perbandingan aja, dan belinya juga santai. Banyak buku yang saya beli cuma dengan
harga Rp25.000-an, original no catat.
Value Tampilan Buku Lama
Dulu, aroma yang selalu saya suka adalah wangi buku baru. Sekarang,
membolak balik tampilan kertas menguning dengan bau khas buku tua karena tersimpan
lama, jadi salah satu kegemaran saya. Bikin kecanduan. Dulu saya sering duduk seharian
di Galeri Buku Bengkel Deklamasi di area Taman Ismail Marzuki, toko buku bekas yang
mojok di kanan gedung Graha Bhakti Budaya (yang sudah dipindahkan). Membaca berjam-jam, sambil tenggelam dalam aroma buku sastra
lama dan langka.
Sekarang waktu berharga saya semacam itu sudah sulit ditemukan.
Bisa baca dua buku perminggu aja udah keren banget, hehe
Semoga 2021 saya bisa membaca buku dan menulis blog sama
banyak. Terima kasih 2020, tahun yang maha asyik.
O ya, kalian pernah beli buku bekas gak?