Perempuan

Seorang perempuan perlahan berjalan di tepian jurang, samping rumahnya. Mencoba memaksa ingatannya bekerja dengan baik, mengenang tentang sesuatu yang meresahkan, sesuatu tentang peristiwa silam, beberapa tahun ke belakang dari tempatnya terdiam sekarang.

Ada sesuatu yang hilang, entah. Bahkan ia tak merasa kehilangan apa-apa. Ada sesuatu lain yang menurut akal sehatnya harus ia miliki, tapi kemudian ia lepaskan.  Tapi apa? Karena nyatanya ia memiliki apa-apa yang ia punya.

Perempuan, kembali memaksa otaknya bekerja lebih keras lagi. Sial, ingatannya memang payah, separah itukah? Sepuluh tahun yang lalu? Ah, tidak. Dua, tiga puluh tahun yang lalu. Dan sekarang nyatanya perempuan baik-baik saja. Jika menurutmu baik adalah bahwa perempuan itu kini tak terbaring sakit, anggap saja memang itu artinya ‘baik’.

Perempuan beranjak ke lain tempat, tidak lagi di tepi jurang sisi kanan rumah tinggi bercat putih keabu-abuan. Sekarang lebih memilih duduk di tepi kolam buatan, dan masih tetap berpikir dan mengingat-ingat apa gerangan yang sebenarnya ia lupakan.

Sayup terdengar suara sepasang anak remaja, oh bukan sepasang ternyata ia sendirian, tertawa cekakan di ujung telpon yang ia genggam. Perempuan meliriknya “Hi, oma” remaja tertawa renyah. Ah, iya aku ternyata seorang nenek tua yang sedang duduk di pinggir kolam. Airnya mencetak bayangan wajah yang tak tampak kerutan, ternyata perempuan belum terlalu tua untuk disebut nenek tua. Tapi kenapa ingatannya begitu lemah. Tak mampu mengingat sesuatu yang rasa-rasanya harus diingat.

Gerimis kecil, airnya jatuh satu satu membentuk bulatan-bulatan di air kolam. Perempuan beranjak masuk dan merebahkan diri di kursi panjang ruang tengah. Remaja yang memanggil “Hi, oma” barusan masih tertawa dan berbicara dengan suara sedikit dipelankan, namun telinga perempuan rupanya masih bisa mendengar dengan jelas “Udah dulu yaa sayang”. Ah, perempuan terkejut, tiba-tiba matanya membulat, membetulkan letak kaca mata dan bersegera berjalan ke kamar.

“Sayang” aku pernah sangat hafal mengucapkan itu persis seperti remaja tadi. Tapi pada siapa, rasanya perempuan masih memerlukan kata-kata lain untuk mengingatnya. Mungkin sebuah nama, “kekasih”. Perempuan mengingat pria yang terakhir ia sebut kekasih, ia masih hidup dan sehat-sehat saja. Bahkan ia sudah memberikannya tiga anak dan empat cucu lucu seperti impiannya dulu. Termasuk remaja yang baru saja duduk tak jauh dengannya tadi di ruang tamu.

Perempuan terduduk di sisi tempat tidur, aku memiliki kekasih, kekasih lain, bukan dia, bukan pria itu. Kekasihku, oh kekasihku. Air mata perempuan berusia 50 tahun tak terasa jatuh satu satu. Dua, tiga puluh tahun yang lalu. Perempuan berhasil ingat kekasihnya yang hilang dulu, bukan hilang tapi lebih tepatnya ia tinggalkan. Kekasih yang lebih tulus, lebih baik, lebih mencintainya dan lebih mengerti akan apapun yang perempuan mau. Dia, sesuatu yang hilang itu, perempuan tersedu. Mengingat semuanya dengan jelas bayangan dua, tiga puluh tahun yang lalu.

Kekasihku oh kekasihku, mungkin aku bukanlah aku yang sekarang andai dulu memutuskan hidup bersama denganmu.

*Ijinkan ku berandai “perempuan itu” adalah aku, dua tiga puluh tahun kemudian, aku yang ternyata tak bisa menghabiskan sisa hidupku berdampingan denganmu, kekasihku.

0 Comments

Silahkan tinggalkan pesan di sini: