Aya Zahir
  • Home
  • About
  • Travel
  • Parenting
  • Review
  • Blogging
  • Portfolio
Seorang perempuan perlahan berjalan di tepian jurang, samping rumahnya. Mencoba memaksa ingatannya bekerja dengan baik, mengenang tentang sesuatu yang meresahkan, sesuatu tentang peristiwa silam, beberapa tahun ke belakang dari tempatnya terdiam sekarang.

Ada sesuatu yang hilang, entah. Bahkan ia tak merasa kehilangan apa-apa. Ada sesuatu lain yang menurut akal sehatnya harus ia miliki, tapi kemudian ia lepaskan.  Tapi apa? Karena nyatanya ia memiliki apa-apa yang ia punya.

Perempuan, kembali memaksa otaknya bekerja lebih keras lagi. Sial, ingatannya memang payah, separah itukah? Sepuluh tahun yang lalu? Ah, tidak. Dua, tiga puluh tahun yang lalu. Dan sekarang nyatanya perempuan baik-baik saja. Jika menurutmu baik adalah bahwa perempuan itu kini tak terbaring sakit, anggap saja memang itu artinya ‘baik’.

Perempuan beranjak ke lain tempat, tidak lagi di tepi jurang sisi kanan rumah tinggi bercat putih keabu-abuan. Sekarang lebih memilih duduk di tepi kolam buatan, dan masih tetap berpikir dan mengingat-ingat apa gerangan yang sebenarnya ia lupakan.

Sayup terdengar suara sepasang anak remaja, oh bukan sepasang ternyata ia sendirian, tertawa cekakan di ujung telpon yang ia genggam. Perempuan meliriknya “Hi, oma” remaja tertawa renyah. Ah, iya aku ternyata seorang nenek tua yang sedang duduk di pinggir kolam. Airnya mencetak bayangan wajah yang tak tampak kerutan, ternyata perempuan belum terlalu tua untuk disebut nenek tua. Tapi kenapa ingatannya begitu lemah. Tak mampu mengingat sesuatu yang rasa-rasanya harus diingat.

Gerimis kecil, airnya jatuh satu satu membentuk bulatan-bulatan di air kolam. Perempuan beranjak masuk dan merebahkan diri di kursi panjang ruang tengah. Remaja yang memanggil “Hi, oma” barusan masih tertawa dan berbicara dengan suara sedikit dipelankan, namun telinga perempuan rupanya masih bisa mendengar dengan jelas “Udah dulu yaa sayang”. Ah, perempuan terkejut, tiba-tiba matanya membulat, membetulkan letak kaca mata dan bersegera berjalan ke kamar.

“Sayang” aku pernah sangat hafal mengucapkan itu persis seperti remaja tadi. Tapi pada siapa, rasanya perempuan masih memerlukan kata-kata lain untuk mengingatnya. Mungkin sebuah nama, “kekasih”. Perempuan mengingat pria yang terakhir ia sebut kekasih, ia masih hidup dan sehat-sehat saja. Bahkan ia sudah memberikannya tiga anak dan empat cucu lucu seperti impiannya dulu. Termasuk remaja yang baru saja duduk tak jauh dengannya tadi di ruang tamu.

Perempuan terduduk di sisi tempat tidur, aku memiliki kekasih, kekasih lain, bukan dia, bukan pria itu. Kekasihku, oh kekasihku. Air mata perempuan berusia 50 tahun tak terasa jatuh satu satu. Dua, tiga puluh tahun yang lalu. Perempuan berhasil ingat kekasihnya yang hilang dulu, bukan hilang tapi lebih tepatnya ia tinggalkan. Kekasih yang lebih tulus, lebih baik, lebih mencintainya dan lebih mengerti akan apapun yang perempuan mau. Dia, sesuatu yang hilang itu, perempuan tersedu. Mengingat semuanya dengan jelas bayangan dua, tiga puluh tahun yang lalu.

Kekasihku oh kekasihku, mungkin aku bukanlah aku yang sekarang andai dulu memutuskan hidup bersama denganmu.

*Ijinkan ku berandai “perempuan itu” adalah aku, dua tiga puluh tahun kemudian, aku yang ternyata tak bisa menghabiskan sisa hidupku berdampingan denganmu, kekasihku.
Hi, salam, wuiih sudah posting lagi. Keren ya? Sepertinya otak lagi seger-segernya buat nulis apa aja yang sebenernya gak penting-penting amat buat dibaca sekalian anda. Tapi akhir-akhir ini emang sedikit banyak hal-hal yang menarik buat di-share. Seperti permasalah berikut yang sedikit rada serius dan merupakan kisah nyata.

Sampai di sini sebelumnya, aku sedikit jelaskan bahwa tulisan ini sebagian dari cerita teman, dan sebagian googling-googling seperti biasa. Oh ya, maaf sebelumnya postingan ini agak sedikit panjang, hentikan baca sampai di sini jika memang membosankan. Kebanyakan prolog ya? baiklah, demikian:

Pernah dengar istilah Alterigo, atau bisa disederhanakan dengan bahasa Alter-ego, untuk sebagian anak social media twitter mungkin lebih kenal dengan kata alter-akun? hampir sama. Kalau belum pernah dengar, baiklah saya akan sedikit bahas dan memberi contoh.

Sebut saja Archi (bukan nama sebenarnya), teman sesama penulis satu kantor dengan saya. Pertama kali mendengar istilah kata itu dari dia.

"Ay, lo pernah denger istilah Alterigo?"

"Hmm berkepribadian ganda ya?"
"Yaa, semacam itu"
"Kenapa?"
"Gw bukan dia" (aku kaget dan memasang tanda tanya tiga di kepala) -->> "???"
"Maksudnya?"
"Gw punya alter ego, dan gw yang ini salah satu alternya"
"Ooh" Saya gak ngerti mau ngomong apa.

Pokoknya, begitu kira-kira percakapannya. Awalnya saya ga percaya, saya pikir itu adalah sebuah sugesti atau bisa jadi mengada-ada. Setiap hari berdekatan dan berbincang dengan Archi memang terkadang ada sikap dia yang tak seperti sifat aslinya. Akhirnya saya cari artikel dan mempertanyakan lebih jauh tentang itu. 

Ketika seseorang terobsesi dengan salah satu tokoh tertentu atau kecewa dengan sifat yang dia punya, maka dia bisa menciptakan jiwa lain di tubuh yang sama. Misalnya, seseorang sangat penakut tampil di tempat umum dan tak tahu bagaimana cara mengatasi masalahnya. Dia bisa menciptakan karakter baru yang membuat dia jadi berani, dan terciptalah jiwa yang lain, jiwa yang lebih berani, jadi yang dia munculkan dipikirannya adalah alternatif egonya dia.

Ini contoh real teman saya Archi, penyebab alterigo dia adalah tekanan mental dari kecil, jadi secara tidak langsung kepribadian lain yang punya pikiran sendiri itu terbentuk.

Nama-nama alternya:
  • Vier, 26 tahun (laki-laki) : terbentuk sejak TK trauma karena mata kesundut rokok dan rasa takut lainnya. Fisik Vier dalam diri Archi, laki-laki tinggi berkulit putih, dan buta. Bersifat netral, bisa membawa suasana dengan baik, handal dalam bahasa inggris, Mr. Perfect.
  • Thatanos-Hypnos, 19 tahun (laki-laki) : terbentuk saat SD, dari beban mental karena tertekan terus memilih satu sisi berbeda dan ditekan meski sebenarnya ga mau. Fisik Thatanos dan Hypnos adalah kembar dengan fisik yang berbeda, Thatanos lebih tinggi, lebih gelap kulitnya, dengan rambut cepak, tubuh berotot bertato. Hypnos pendek, kulit putih, rambutnya selalu dikuncir selalu senyum. Sifat Thatanos: Pemberontak, berpikir dan merasa dengan logika, skeptisan, kasar, hampir selalu berpikir negatif, jarang simpatik dengan orang lain. Hypnos: Ceria, berpikir dengan hati, lembut, suka dengan warna pink dan cute. Mudah menangis karena dia mudah terbawa dengan cerita orang lain, mudah simpatik dengan orang.
  • Alia, 17 tahun (wanita) : terbentuk saat SMA, terbentuk karena perasaan sakit hati, minder dan malu. Fisik: bertubuh kecil beramut pendek, dengan wajah tidak menarik, suka memeluk boneka. Sifat: dari luar tampak kalem dan pemalu dan gampang dibodohi. Jika sudah kenal dekat dia nampak sedikit cerewet. Jika lebih kenal lagi dalam hidupnya dia hidup dengan pendapat sendiri. Kata-katanya tidak bisa dijaga bahkan berani mengatakan hal se-blak-blakan mungkin. Tapi dia tahu tempat, jadi semua pendapat dia simpan dalam hati. 
Demikian alter-alter yang dituturkan Archi, alter yang menguasai tubuhnya. Mereka bisa muncul atas kuasa diri aslinya sendiri, dalam artian masih teman saya yang mengendalikan kapan dia harus muncul, walau ada alter yang bisa muncul semaunya. Namun, ada orang yang memiliki alter ego yang tak bisa dikendalikan, malah lebih menguasai sifat asli. Atau alter ego yang mampu menaklukan diri sendiri, hal serupa ini biasanya banyak di luar negeri.


Oh, ya berikut ini kutipan artikel dari hasil googling.

Alter Ego adalah diri kedua, yang diyakini berbeda dengan kepribadian aslinya. Istilah ini pertama kali dijelaskan oleh psikolog Donald K. Freedheim pada awal abad kesembilan belas dengan istilah DID, dissociative identity disorder.
Hal-hal semacam itu memang terkadang susah diterima nalar, dan bahkan cenderung mengatakan "ah, itu sih cuma khayalan". Hhmm entahlah yaa, lepas dari itu semua tetaplah syukuri apapun yang Tuhan beri untuk kita, tak ada yang lebih bijaksana selain mensyukuri kehidupan bagaimanapun keadaannya.


Demikian catatan yang agak panjang berikut ini semoga bermanfaat :)

notes: tulisan ini diposting atas persetujuan Archi sebagai narasumber dan tokoh sebagai contoh.
Sesekali menumpahkan sebuah guyonan di blog menarik ini, boleh bukan? Tetap bukan sekadar lelucon biasa kok, sesuai judulnya "lelucon bijak", ini adalah sebuah cerita lucu yang memiliki makna keren banget kutipan akhirnya.
Lagi, kak Yecci yang andil mengirim tulisan lucu-lucuan ini:


Seorang bijak memasuki sebuah cafe, dan mulai menceritakan sebuah lelucon. Semua orang di dalam cafe itu tertawa. Beberapa saat kemudian, pria itu mengulang lagi leluconnya, namun kali ini hanya beberapa orang saja yang tertawa. Lima menit kemudian pria itu kembali menceritakan lelucon yang sama, dan ternyata tak ada yang tertawa. pria inipun tersenyum lebar, sambil berkata:


"Bila kamu tidak bisa tertawa berulang-ulang pada lelucon yang sama, lalu mengapa kamu terus menangis berulang-ulang pada masalah yang sama?"
Note: Kesusahan hari ini cukuplah untuk hari ini, Tuhan selalu ada untuk kita.
Leluconnya keren ya? Baca sambil tepuk tangan saja tak apa-apa. *ketawa sambil mikir*
Tak perlu ku ulangi percakapan di bawah yang sengaja ku capture hasil dari chatting BBM dengan kakak sekaligus sahabat jauhku kak Yecci beberapa saat sebelum aku menulis postingan berikut ini kemudian.
Sebelum ia memunculkan kata-kata 'gemblengan' itu, aku mengeluh beberapa kali di jeda makan siang jam kerja.


Aku jatuh cinta, sudah sangat lama dengan pria yang menurut sebagian orang bahkan tak pantas ku cintai. Begitulah cinta, yang ku pikir begitu kuat, hingga melemahkan hatiku yang payah. Aku terus menerus mencintai seseorang yang bahkan mungkin tak pernah mengetahui seberapa penting arti hidupnya buatku selama ini. Tak cukup sampai di situ, beberapa cinta hadir dengan segala ketulusannya, bahkan ku tepis mati-matian dan hanya diam menunggu sebuah harapan. Aku bodoh bukan? ya memang.

Tidak main-main, aku menumpuk dan membiarkan perasaan ini membusuk bertahun-tahun, bukan lagi hitungan bulan apalagi minggu. Aku menderita sekali, sangat. Semua kutelan 
mentah-mentah, pernah mendengar dari seorang sahabat.

"menunggu orang yang tepat, lebih baik dari pada berjalan dengan orang yang salah"
Mindsite ku terus dibuat begitu. Alhasil, menunggunya mungkin keputusan paling akhir.
Berbagai macam perasaan ku nikmati begitu saja, jutaan detik waktu kusia-siakan dengan terus mengaguminya. Aku tidak salah bukan? Apa ada yang pernah menyalahkan seseorang yang jatuh cinta? rasanya tidak. Begitu bertahun-tahun, bisa kau bayangkan bagaimana rasanya mencintai seseorang yang bahkan dia tak pernah sama sekali memandang perasaanku. Hmm terlalu menyedihkan mendengarnya memang.

Lama kelamaan, hingga puncak akhir sebelum aku menulis postingan ini. Itu berarti beberapa waktu sebelum aku mengeluh pada sahabat dekatku, beberapa minggu yang lalu ada sesuatu hal yang ia lakukan (yang tak layak ku tuliskan) membuat kekagumanku sedikit berkurang.

Lama, aku berpikir. Mungkinkah, ini adalah titik pencapaian akhir aku menunggu harapan yang menggunung bertahun-tahun. Demikian sulit, dan demikian sakit. Hingga aku menulis ini, bahkan aku masih belum bisa membiarkan dia sebenar-benarnya hilang dari ingatan.
Jangan salahkan aku sekali lagi, karena hatiku sudah lebih dulu menghujat diri sendiri lebih dari cacian yang mungkin kau lontarkan.

Buat seseorang yang bertahun-tahun ku nanti, mungkin aku berhenti sampai di sini.

Aku ingat kata-kata yang ku buat sendiri:
Sebodoh-bodohnya sebuah pengharapan, adalah menaruh harapan pada seseorang yang bahkan tak pernah menjanjikan apa-apa, sedang kita terus menunggunya.
Terima kasih tersembah hangat buat sahabat dan kakak jauhku Ecci, yang setiap hari menamparku berkali-kali :)
Senja di langit Jakarta kali ini, aku ingin sedikit bernyanyi. Menyanyikan sebuah lagu dengan nada sumbang dan biarkan aku sendiri yang mendengarkan. Memetik satu satu senar dengan jemari gemetar, aku tak bisa melakukannya dengan apik, tak juga mampu bersenandung dengan baik.


Yang bisa ku lakukan hanya duduk di antara jeda setiap detik waktu senja Jakarta, kau yang entah keberadaannya terekam jelas di kepala. Sesekali menatap langit di luar jendela berkaca. Bibirku perlahan menggumamkan syair namamu patah demi patah.
"Bukan sebuah syair yang sempurna, hanya berharap kebaikan angin menghantarkan rindu yang ku sembunyikan sampai tepat di tujuan, hatimu, kekasih terindah hatiku"
Nyanyianku begitu halus, tak terdengar. Menyunggingkan senyum setiap berhenti pada bait yang melafalkan kenangan, tentangmu dan masa silam. Seekor semut hitam merayap di ujung kepala senar gitar, lambat bergerak, dan berusaha melangkah hati-hati seakan tak ingin melukai hatiku jauh lebih dalam.


Bahkan semut hitampun seolah merasakan kegetiran dengan sekali melihat tatapan sendu kedua mataku.
Ku hela nafas dan ku ulangi nyanyian lagu sumbangku sekali lagi

"Ambilkan bulan, Bu!"
Ambilkan sesuatu yang tak mampu kau berikan, ajarkan aku mengikhlaskan sedari dulu, dengan begitu mungkin aku terbiasa dengan mudah menerima sesuatu yang memang bukan untukku.

Seharusnya begitu, ketika aku terbiasa merelakan hal-hal yang tak seharusnya ku miliki, mungkin saat ini aku tumbuh menjadi wanita yang tak terlalu rapuh. Sayangnya tidak, bahkan kau satu-satunya wanita yang cintanya melimpahpun tak sanggup menjanjikan apa-apa. Menjanjikan semua yang tak sanggup kau tepati dan yang tak mungin ku miliki.

Itu sebab aku terlalu lemah, mencintai seseorang dan tak bisa memilikinya terlalu menyakitkan, bu.
Aku terlalu biasa mendapatkan apa-apa yang menjadi keinginan, sejak dulu, bukankah begitu? Aku tidak bisa sekuat wanita-wanita lainnya yang tumbuh sempurna dengan kedewasaan mereka karena keadaan. Terluka sedikit, buatku terlalu sakit.

Aku benci kata 'seandainya', karena kata seandainya diucapkan ketika keadaan yang terjadi tak seperti yang ku harapkan. Seandainya sejak kecil aku di janjikan sesuatu yang tak memungkinkan “Kan ku ambilkan kau sepotong rembulan” misalnya, mungkin sepanjang hidupku aku akan terus terbiasa memiliki harapan yang aku tahu pasti memiliki sedikit sekali kemungkinan.
Ah, terlalu cengeng memang.

“Ambilkan bulan bu,” bolehkah aku meratap sekarang, seperti itu? Janjikan saja, meski aku tahu bahkan janji-janji itu sama sekali tak bisa menguatkanku.

*Mencintai, lalu kehilangan. Adalah memaksa meniadakan hal-hal yang berasal dari tiada dan diada-adakan

*Ada dekik di kedua pipimu. Itu salah satu yang selalu ku ingat. Selebihnya, aku juga ingat semua

*Bagaimana bisa aku tidak tersesat, kau biarkan ruang hatimu gelap, sama sekali tak memberi penerangan, hingga aku lupa jalan pulang

*Melepaskan diri dari seseorang yang bahkan tak menyadari bahwa kita mencintai. lebih sulit dari meninggalkan kekasih sendiri

*Bertahun-tahun mencintaimu tanpa jeda, membuatku butuh waktu sedikit lebih lama untuk menganggap kau bukan siapa-siapa

Satu-satunya yang kusebut kehilangan, adalah lupa cara merindukan

~ Beritahu saja aku, andai kau sudah tahu bagaimana cara menjamu tamu di hatimu. Barangkali di saat itu aku masih menyisakan sedikit rindu.

~ Dan, bahkan aku masih menyimpan sedikit harapan di saat benar-benar ingin melupakan

~ Aku ingat sebab mengapa harus mencintaimu, namun lupa alasan untuk menghilangkannya

~ Padahal, jelas-jelas aku yang menjatuhkan hati. Tapi aku sendiri tak mampu bertahan jika sesuatu yang ku jatuhkan kau injak patah, lantas mati
salah satu tempat buat galau
Sempat ada yang pernah bilang begini,
"Mau lihat ekspresi wajah Aya yang galau? Tak usah menunggu dia patah hati atau jatuh cinta, bawa saja ke toko buku saat tak ada doku (uang), hahahaa"


Itu seloroh kecil-kecilan teman kuliahku dulu. Tapi dipikir-pikir memang iya banget, ke toko buku setiap minggu itu pekerjaan wajib menurutku. Tidak kebanyakan uang juga sih setiap ke sana mesti beli buku. Cuma numpang baca doang juga gak apa-apa, senang aja dengan suasana dan aroma wangi buku-buku baru. Aku bahkan ahli menyobek plastik buku yang masih terbungkus utuh, baca sinopsis dan tengah-tengah cerita, selesai.
Dan, besok-besoknya setelah punya uang baru bisa beli satu dua buku yang sudah lama jadi incaran, terus saja begitu berulang-ulang sampai akhir bulan.


Aku suka menulis, dan berbanding lurus dengan kesukaanku dengan membaca. Sayangnya memang aku tak terlalu punya uang banyak untuk selalu bisa membeli buku setiap minggu. Beruntung, semua toko buku tak pernah memeriksa dan  bertanya 'kamu beli buku apa?' tidak, bagusnya tidak ada pertanyaan begitu setiap aku keluar dan bersua dengan pak satpam. Kalau semua toko buku punya peraturan begitu, yaa sudahlah apa mau dikata, haha.


Akhir bulan itu tanggal-tanggal oke, berjalan ke gramedia juga jadi lebih pede. Menyapa satpam lebih ramah dari tiga minggu sebelumnya, seakan-akan aku bilang 'iya pak, hari ini saya mau beli'. Tapi kegalauan itu tidak cukup sampai di depan pintu, aku akan jauh lebih galau begitu sampai di deretan ratusan buku. Seret kaki ke jajaran novel, lari kecil ke buku baru, tiba-tiba tergerak buat ngeliat buku best seller sambil mata tetap lirik-lirik liar ke tumpukan buku sastra. Begitu terus sambil garuk-garuk kepala. Sampai tiga jam bahkan aku belum juga bisa menentukan mau beli buku apa, sudah dilist memang, tapi begitulah hati payahku susah teguhnya.


Kelakuan itu terus menerus begitu tak pernah berubah, nanti kalau aku sudah kaya, atau ketika kelak aku punya anak yang suka membaca, pasti ku fasilitasi dia agar tak terlalu kehausan dan galau di rak-rak panjang toko buku setiap kota. Kasihan, kayak aku sekarang.


Oh ya, beruntung buat kalian yang punya banyak uang dan bisa membeli buku kapan saja semaunya :)
Sepenggal dua penggal kata yang bahkan gampang sekali aku lupa, baik adanya diabadikan di sebuah blog yang lebih mirip buku harian, untuk membantu ingatanku yang terkenal sedikit payah.


Berikut ada beberapa kata yang ku kumpul menjadi dokumen "140 Karakter":
Serindu apapun engkau pada sesiapa yang bahkan bukan siapa-siapamu.Jangan lupa bernafas. Karena hidupmu pun dirindukan seseorang lainnya.
Ketika sesak mulai menghimpit dada, karena seseorang yang tak menghendakimu.Tersenyum saja, karena ada seseorang lain yang butuh senyumanmu 
Rindu itu jangan sesekali dibantah. Semakin engkau menyangkal, ia semakin menyesakkan.Nikmati saja, meski tak balas dirindukan.
Tak usah memaksa menautkan jemari pada jari-jari yang menggamit tanganmu dengan kaku.Mungkin ada jari-jari hangat lain yang membutuhkanmu. 
Ketika kau tersiksa merindukan orang yg tak merindukanmu.Jauh di sana, ada seseorang lain yang bahkan kau tak tau betapa ia mengharapkanmu. 


Demikian, hal-hal yang sedikit bisa ku ingat. Mencintai itu tak perlu balas dicintai, ketulusan akan menghasilkan sebuah hasil yang setidaknya tak terlalu menyakitkan :) 
Akhirnya, aku sampai pada titik jenuh mencintaimu.
Cinta yang sejak entah berapa tahun lalu ku sembunyikan diam-diam, diketahui beberapa orang, bahkan akhirnya sampai pada hati yang ku tujukan.
Namun entah, mungkin hati yang ku rindukan tak terlalu pandai menjamu tamu sebagai tuan rumah.
Hingga aku menyerah dan sampai pada titik keputusan untuk mundur teratur perlahan-lahan.


Apa yang aku harapkan? Dengan (pernah) mencintaimu, aku tak pernah ingin melukaimu. Hati yang hendak ku singgahi, semoga tetap dalam keadaan baik.


Melihat kau dalam keadaan baik, itupun sudah menjadi sebagian kebahagiaanku.
Demikian, suara hati yang bahkan mungkin tak pernah kau ketahui.
Pernah mencintaimu adalah sebuah kenangan terindah dalam hidupku.


Berikut adalah sebuah kata-kata yang tak terlalu indah buatmu:


Berkali-kali jatuh,aku tak pernah mengaduh
Mencintaimu, bukan sebuah kesakitan
Sekalipun tak akan mengeluh, meski tanpa balasan


Terima kasih sudah mengijinkan aku menjatuhkan cinta.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Aya zahir

Aya zahir

About Me

Suka menulis, rajin membaca dan gemar menabung. Aktif nge-Blog dari 2010.

Subscribe & Follow

Popular Posts

  • Pride and Prejudice, Jane Austen. Roman Terpopuler Sepanjang Masa
  • Body Care Review : Shower Scrub, Body Scrub & Brightening Body Lotion by Scarlett Whitening
  • 5 Snack Diet Murah di Indomaret, Alfamart
  • Review : Body Scrub & Shower Scrub Coffee Edition by Scarlett Whitening
  • Kenapa Saya Resign dari Perusahaan Negara dan Pilih Kerja dari Rumah Aja

Blog Archive

  • ►  2025 (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2023 (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
  • ►  2021 (18)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2020 (47)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (1)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (16)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2019 (53)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (11)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (14)
  • ►  2018 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2016 (6)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Februari (5)
  • ►  2015 (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2014 (4)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Mei (1)
  • ▼  2012 (61)
    • ►  Oktober (8)
    • ►  September (11)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ▼  April (11)
      • Perempuan
      • Alter Ego, Satu Muka Seribu Wajah
      • Lelucon Bijak
      • Titik Jenuh Penantian
      • Senandung di langit senja Jakarta
      • Ambilkan bulan, Bu!
      • Kehilanganmu
      • Mencari cara melupakan
      • Buku-buku baruku
      • 140 Karakter
      • Bila Hati Bicara
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2011 (51)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (10)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (19)
    • ►  Juni (9)
  • ►  2010 (4)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)

Part Of

Blogger Perempuan
1minggu1cerita
BloggerHub Indonesia

Teman Blogger

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Styling By Yanikmatilah Saja | Theme by OddThemes.

COPYRIGHT © 2020 Aya Zahir | Origin by OddThemes. Styling by Yanikmatilah.