Kita Temenan Aja



“Jam berapa?” kataku
“ku jemput jam empat, jangan telat. Atau aku akan sangat marah”
“Haha, baiklah baiklaahh”

Sesaat setelah telpon ditutup, berlari kecil riang menaiki anak tangga, bahkan tak sengaja lututku yang memang sedikit jauh dari mata kaki kejedot pinggiran tembok

“Aduuh, hihi bodoh” aku berlari kecil sambil sedikit tertatih lantas masuk kamar dan mengunci pintu rapat-rapat, klik.

Lemari kayu kuning emas berdiri di samping jendela kamar diapit tembok dan meja rias kecoklatan. Ku buka tergesa dan mengambil beberapa pakaian, mematut-matut dengan bibir tak henti menyungging senyum paling cantik.

Baju berenda kupu-kupu, rok merah jambu, celana jeans abu-abu, kemeja putih berkerah biru. Ah, aku pakai yang ini saja, bukankah kau suka warna jingga, dan aku juga punya sepatu sandal merah bata, tampaknya pas.

Ini baru setengah tujuh, tapi kebahagiaan benar-benar menghilangkan kesadaranku separuh. Tidak ingin makan apa-apa, begini salah, begitu juga. Masih ada beberapa jam waktu yang bahkan bisa kugunakan untuk bolak-balik Bandung – Jakarta. Tapi rasanya kebahagiaan ini harus dirayakan seharian sebelum saat itu tiba

Bagaimana tidak, kau seseorang yang selama ini aku suka tiba-tiba mengatakan ingin mengajakku jalan-jalan dan “ada sesuatu yang ingin ku katakan” itu isi telponmu barusan yang paling membuatku penasaran, yang membuatku seharian blingsatan mirip cacing kepanasan.

Apa yang ingin dia katakan? Aku beberapa kali bertanya di cermin dengan memasang wajah paling bahagia di dunia. Aku mulai menyiapkan kata-kata untuk memberi jawaban atas pertanyaanmu yang mulai ku duga-duga. Mengingat itu pipiku malu merona, padahal tidak ada siapa-siapa

Tepat pukul empat, aku sudah berdiri di depan pintu rumah dengan segala kebahagiaan membuncah. Ku lirik jam dipergelangan tangan kiri sambil menolah ke ujung jalan beberapa kali.

Setengah jam setelahnya, awan mulai mendung menggantung

Aku resah dan mulai menggerutu
Setengah jam berikutnya rintik hujan mulai berjatuhan membasahi pekarangan. Ku ambil ponsel dan menatap layar kosong tanpa pesan. Ingin rasanya menelponmu saat itu, tapi “ah, barangkali kamu terjebak macet di jalan”

Pukul lima lebih dua puluh, setelah akhirnya aku benar-benar merasa putus asa dan hendak masuk rumah. Tiba-tiba sedan hitam terparkir di luar halaman, seketika kegelisahku hilang
Tak peduli hujan mulai besar, aku berlari-lari membuka pintu pagar lantas masuk ke dalam mobilmu dan duduk bersandar.

Bahkan aku tak sempat menanyakan “kenapa telat?” sebab melihatmu seketika aku lupa segala, dengan kaos hitam dan jeans biru, duuh sangat tampan.

Kau tak banyak bicara, aku juga. Hanya sibuk menerka-nerka apa isi di dalam dada. Bahkan, kita sudah bersama-sama sejak duduk di bangku TK, ini konyol, atau memang ini cinta

Kita berputar-putar di sekitar taman kota yang mulai ramai, kebetulan ini sabtu malam. Membeli beberapa camilan, bercanda seperti biasa, dan tiba-tiba kau menggamit tanganku “Kita ke pantai yuuk” katamu, aku mengangguk ragu.

Pukul Sembilan, setengah jam setelah kita duduk di tanah berpasir dan tak mengatakan apa-apa. Kelap-kelip lampu perahu di tengah laut, di ujung sana. “Indah yaa” kau membuka pembicaraan, aku meng’iya’kan.

“Barangkali ini saatnya, kita sudah sangat lama saling mengenal bukan. Tapi kau sendiri tahu, aku laki-laki paling payah untuk masalah wanita, terutama masalah perasaan. Itu sebab aku beranikan diri bicara terlebih dulu padamu, sahabat terdekatku”

Pembicaraan terhenti, raut wajahmu datar, raut wajahku bertanya-tanya dengan dada bergetar

“Winny, gadis berkaca mata yang pernah kita jumpai beberapa kali saat pameran photography di sanggar galeri. Kau ingat bukan?”

Aku mengangguk

“Aku mencintainya, sejak dulu, sejak pertemuan itu. Sudah sangat lama sekali kan? tapi aku tak punya nyali untuk katakan. Kamu mau membantuku? Ah, kau pasti mau membantuku”

Aku mengangguk dan berusaha memberikan senyum terbaikku detik itu. “Pasti, aku pasti membantumu” Aku meyakinkan

“Ah, leganya. Sudah ku duga, kau pasti akan membantuku dalam masalah ini, sebab kau satu-satunya sahabatku yang paling mengerti.”

Kau menepuk pundakku berkali-kali, tersenyum bahagia

“Aku adalah satu-satunya sahabatmu yang paling mengerti” Aku memalingkan muka, ada yang menetes dari ujung mataku sebelah kiri.

3 Comments

  1. wah kasian wanitanya,
    mbk aya tolong kasih tau dia, masih ada saya dibelakang dia yang selalu menunggunya, andai saja dia melihat kebelakang mungkin dia akan menemukan cinta sejatinya, pelangi yang akan selalu memberi warna dihatinya :D

    BalasHapus
  2. haha pasti yang komen Jomblo :p

    BalasHapus
  3. iihh kok tau?? :p
    emang jomblo #tothepoint

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan pesan di sini: