Cinta, mencintai, dan dicintai



Sejak posting tulisan beberapa saat lalu yang berjudul Titik jenuh penantian,
sejak temanku mengatakan ‘jangan cuma bisa nulis doang’, sejak itu memang tidak ada yang lebih baik melebihi sebuah pembuktian. Pembuktian bahwa memang aku benar-benar sudah melewati fase jenuh dalam mengharapkan sebuah (katakanlah) ketidak pastian.

Sejak saat itu, aku merasa benar-benar kosong. Tidak berarti sama sekali tidak memikirkan apa-apa, banyak yang harus aku pikirkan malah. Kembali focus pada pekerjaan, sibuk mengejar les-les yang beberapa bulan tertinggal. Ohya, aku memang sudah lama jatuh cinta pada Paris itu sebab aku mengikuti salah satu program pembelajaran bahasa Perancis. Tapi karena akhir-akhir ini aku disibukan dengan pekerjaan dan tak cukup waktu luang yang bisa ku bagi, jadi beberapa waktu ku tinggalkan.

Aku merasa lebih baik, bahkan jauh lebih baik dari apa yang aku pernah pikirkan sebelum-sebelumnya. Apa yang pernah aku pikirkan sebenarnya? Ternyata, tidak (lagi) menjatuh cintai seseorang itu pada akhirnya memang sudah menjadi bahan pikiran selama ini.

Sejak dulu-dulu mencintainya adalah sebuah hal menyenangkan. Merindukan seseorang yang bahkan entah rindunya untuk siapa, aku begitu menikmatinya. Aku tau ini bodoh, bahkan sejak dulupun tau betapa bodohnya aku. Tapi, perasaanku sama sekali bukan perasaan yang bodoh. Ini sebuah ketulusan, ketulusan mengagumi seseorang yang bahkan tak pernah tidak diabaikan

Sekarang semua sudah berubah, berubah ke keadaan yang seharusnya. Tidak lagi mencintainya mungkin adalah sebuah keharusan. Tidak lagi memikirkannya adalah sebuah kebiasaan yang perlahan menghilang dan memang awalnya tak pernah ada namun aku paksakan. Aku pikir itu akan menyakitkan, ternyata tidak sama sekali. Karena aku tidak sedang patah hati.

Aku sendiri yang mencintainya, dan aku sendiri yang memutuskan untuk berhenti. Apa itu bisa disebut patah hati? Entahlah apa namanya ,yang jelas perasaanku sekarang jauh lebih lega jauh lebih tenang. Bertahun-tahun mengumpulkan rindu hingga membusuk dikebisuan adalah bukan sesuatu yang menyenangkan memang. Setelah tumpukan sampah dikeluarkan ternyata otakku baru bisa berjalan dan berpikir normal, bahwa ini yang seharunya aku lakukan.

Jatuh mencintainya bukan sesuatu yang patut aku sebut kesalahan, tidak balas dicintai tidak lantas aku berhak menyatakan bahwa dia pria yang amat ku benci, tidak sama sekali. Bahkan aku menikmati kesakitan bagaimana rasanya ketulusanku terabaikan. Tapi semacam itulah yang dinamakan cinta, mencintai, dan dicintai. Bijak saja dalam menyikapi perasaan yang ku jatuhkan meski akhirnya aku harus tertatih dan bangun sendiri. Tidak ada yang salah dengan perasaanku, juga dengan perlakuan dia, sudah memang begitu saja.

Pernah menyukainya, sesuatu yang tidak dengan mudah bisa begitu saja dilupakan. Tidak ada yang bisa kusesalkan, bahkan aku selalu banyak berpikir dan meyakinkan diri sendiri bahwa segala ketulusan yang pernah aku berikan kelak pasti akan dibalas dengan ketulusan indah milik Tuhan, bukan?

Aku banyak-banyak mengucap terima kasih bahkan untuk siapapun pria yang pernah ada sesaat mengisi hatiku, setidaknya meski hanya aku yang pernah menyukai. Tak mengapalah, bukankah berterima kasih itu selalu benar dalam banyak hal, termasuk ketika kita berterima kasih pada orang yang pernah tidak sengaja mengabaikan perasaan kita. Dengan begitu kita akan sangat bisa memetik pelajaran berharga, dengan tidak melakukan hal yang sama pada orang yang menyukai kita misalnya.
Setelah tulisan ini diakhiri, saya pastikan saya baik-baik saja dan sudah bisa tersenyum banyak-banyak

2 Comments

  1. ''Cintailah orang yang engkau cintai sewajarnya,karena siapa tahu ia akan menjadi musuhmu,dan bencilah musuhmu itu sewajarnya ,karena siapa tahu ia menjadi sahabatmu dilain waktu.'' (Al-Hadits)

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan pesan di sini: