Air mata jatuh (hanya) untuk hal yang pantas



Sebelumnya, izinkan saya menggunakan tinta merah. Untuk melambangkan bahwa postingan ini dibuat dalam keadaan marah. Saya ingat ada pepatah yang kurang lebih bunyinya semacam ini “Jangan membuat janji, membalas sms, dan menjawab telpon ketika kita dalam keadaan marah” Itu sebab saya memilih ada baiknya saya menulis saja, dalam keadaan (masih) amarah.

Perkara apa?
Banyak hal yang bisa membuat saya marah, tidak hanya masalah penting. Bahkan hanya sekadar dibeliin coklat yang warnanya salah saja saya memang gampang marah, emosian. Tapi ada sebab yang lebih dari sekadar marah mengapa sampai saya posting di blog. Bukankah biasanya kita hanya diperkenankan menceritakan hal-hal baik saja untuk tidak memperlihatkan sesuatu yang buruk.

Di beberapa postingan saya sebelumnya, banyak bahasan mengenai betapa saya menghargai kesetiaan saya, menyukai seseorang yang bahkan ‘mengabaikan’. Saya pernah berkata bahwa “Jangan salahkan saya sekali lagi, karena hati saya sudah lebih dulu menghujat diri sendiri. lebih dari cacian yang mungkin kau lontarkan”

Jelas, dalam setiap tulisan saya mewartakan bahwa saya benar bahagia memiliki kesetiaan mencintai seseorang. Beberapa sahabat saya sepakat akan itu, sepakat dengan “kengototan” saya. Meski beberapa dari mereka mengatakan saya bodoh, tidak masuk akal, ngapain nunggu orang gak jelas, bla bla bla…

Tapi demikian, cerita itu mengantarkan saya pada pemahaman bahwa ternyata saya tidak bisa menolak kehendak hati, sedemikian rupa bantahan dari mana-manapun saya tetap bersikukuh dengan pendapat saya. Apa saya salah?

Tidak ada yang salah dengan pendapat masing-masing orang, bahkan saya selalu mengukuhkan perkataan bahwa kita tidak bisa memukul rata semua isi kepala setiap manusia, bukan? Beda orang, beda pemikiran, beda pemahaman.

Tapi sepertinya tidak dengan salah satu teman (yang belum lama saya kenal). Saya menceritakan mengenai kisah yang sama, cerita tentang kesetiaan saya. Dan apa yang saya dapat? Kata-kata yang aneh, yang sebegitu nyakitin saya. Barangkali iya, kita memang beda pendapat tapi saya merasa sesak, dia seorang teman yang saya percayai untuk di-curhat-i, sengaja atau tidak dia mengirimkan kata-kata
“Kau ceritakan padaku tentang ketulusanmu dalam cinta yang kau agung-agungkan. Manggut-manggut sambil tersenyum kecil aku mendengar ketololanmu itu”
Dia jelas mengatakan saya benar-benar TOLOL. Seketika hati saya merasa sangat sakit. Beribu sesal saya rasakan betapa ‘bodohnya’ menceritakan hal semacam ini pada sembarang orang, pada orang yang tak terlalu saya kenal. Semua murni kesalahan saya. Tapi sekali lagi kebodohan saya adalah saya menganggap ini kesakitan, saya merasa dia benar-benar melukai saya, padahal apa hak saya untuk sakit hati? Apa hak saya untuk marah?

Bahkan saking saya marah, tidak sengaja terlempar kata-kata “Gue tau perbedaan pendapat tiap kepala, gue juga gak bisa pukul rata semua pendapat orang. Tapi setidaknya gue bisa hargain orang dengan gak bilang ini ketololan. Yakali gue yang tolol parah cerita sama kamu”
Beribu sesal saya melempar kata-kata semacam itu, dia yang bukan siapa-siapa saya, tidak tahu apa-apa tentang saya. Saya menangis sekencang-kencangnya. Terlebih saat sahabat saya bilang:
“Masa kamu sedih dibilang tolol? Dia siapa? Masuk dalam daftar orang yang menghargai kamu? Apa pantas kamu bersedih karena dia? Udah ay, masih banyak orang yang peduli dan sayang sama kamu”

Saya tertampar keras-keras, iya benar. Sekali lagi saya salah dalam beberapa hal: menceritakan sesuatu masalah pada orang yang tak terlalu saya kenal dan tak mengenal saya, emosi yang tak bisa saya kendalikan, air mata dan amarah yang saya jatuhkan untuk orang-orang yang bahkan tidak menghargai saya. Jelas itu kesalahan yang saya lakukan berkali-kali, menyadari hal itu saya benar-benar terlempar pada sudut penyesalan.

Banyak pelajaran yang saya dapat dari hal demikian, hingga akhirnya saya berkata “Jangan marah Tuhan, sembuhkan sesak saya dan maafkan orang-orang yang (tak sengaja) berkata kasar pada saya. Sungguh saya malu masih tidak bisa menahan amarah”

tidak lama saya buat twit yang isinya kurang lebih sebagai berikut:
Seharusnya air mata diajarkan untuk tidak jatuh karena hal-hal yang 'tidak terlalu penting' untuk ditangisi.
Seharusnya hati dibujuk untuk tidak sembarang merasa sakit hanya ucapan orang-orang yang bahkan tidak bisa mengargai.

Terima kasih untuk sahabat yang sudah selalu mengingatkan, dan maafkan andai ada beberapa teman yang saat ini merasa saya abaikan. Berusaha belajar menjadi baik, kadang saya harus selalu menjauhi orang-orang yang saya anggap ‘tidak baik’ untuk saya.

4 Comments

  1. itulah knp ay seperti halnya aku (kaum introvert) lbh nyaman menulis drpda berkoar sama orang lain...

    BalasHapus
  2. Memang begitu seharusnya Gie, tapi kadang ada kalanya kita butuh bercakap dan mendiskusikan perihal masalah kita pada orang-orang yang kita percaya.

    yaa pembelajaran saya sih heheu

    BalasHapus
  3. ~Seharusnya air mata diajarkan untuk tidak jatuh karena hal-hal yang 'tidak terlalu penting' untuk ditangisi.
    Seharusnya hati dibujuk untuk tidak sembarang merasa sakit hanya ucapan orang-orang yang bahkan tidak bisa mengargai~

    Kalimat yang keren ay, dan bener banget. Satu lagi nih, kalau boleh menambahkan,
    Seharusnya hati diasah untuk selalu berbaik sangka, bahkan pada seorang yang menghina.

    Jangan biarkan air matamu jatuh, untuk sesuatu yang tak berharga, lagi. :*

    BalasHapus
  4. Setuju mbaaaaakk... itu sebab dunia mengajarkan kita pada segala kebaikan dan melihat setiap perkara dengan baik sangka. Bahkan pada sesiapa yang telah memilili rencana buruk pada kita :*

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan pesan di sini: