Aya Zahir
  • Home
  • About
  • Travel
  • Parenting
  • Review
  • Blogging
  • Portfolio

Menikahlah, jika kamu sudah 'selesai dengan diri sendiri'.

Saya pernah membaca tulisan berbunyi kalimat di atas, kalimat yang memiliki makna banyak. Dan saya mengartikannya sebagai sebuah kesiapan mental, tidak hanya perkara finansial.

Saya tidak sedang berbicara usia, kemapanan materi, atau juga perihal jodoh dan takdir yang datang di waktu yang bahkan tidak pernah kita duga.

Tetapi, ketika itu akhirnya tiba, pastikan bahwa kita sudah selesai dengan segala permasalahan yang melibatkan diri sendiri.

Pribadi yang dewasa memiliki tanggungjawab penuh atas pribadinya masing-masing. Tentang impian, keinginan, cita-cita, apa yang membuat kita bahagia dan perkara apa yang tidak disukai.

Tidak hanya menyoal itu, kita pun bertanggungjawab atas isi pikiran dan raga/fisik kita sendiri. Karakter, perilaku, aksi, apapun yang sudah kita lakukan hendaknya kita siap dengan semua konsekuensinya.

Itu semua, selesaikan ketika kita masih sendiri. Single. Jomblo

Sendiri artinya kita tidak memiliki tanggungjawab terhadap hidup orang lain. Kita juga tidak mempunyai hak untuk menuntut oranglain memperlakukan kita seperti apa.

Traveling sendiri, jalan-jalan tiap akhir pekan tanpa gangguan, rasa egois, sifat manja, keras kepala, pemarah, pemalu, dan segala jenis karakter dan perilaku yang tidak menimbulkan sebab akibat atas kehidupan orang lain, kita sendiri yang mengendalikannya.

Dan semua, selesaikan ketika kita masih sendirian. Belum ada pasangan.

Apalagi memiliki buah hati yang sepenuhnya adalah tanggungjawab kita sebagai manusia yang diberi amanah.

Apa makna selesai dengan diri sendiri?
Saya sederhanakan dengan berdamai dengan kondisi. Mampu mengelola emosi. Control diri, terhadap perihal apapun.

Setelah menikah, kita tidak lagi bisa 'terserah aku', 'aku kan dari kecil gini orangnya, kamu harusnya tau dong'. 

Cekcok dengan pasangan karena perkara masing-masing berdiri atas ego sendiri. Adu argumen atas apa-apa yang dirasa pendapat kita paling benar. Merasa lelah mengurus anak karena rewel dan nangis tiap hari. Tidak ada waktu rutin me time, tidak bisa melakukan apapun terserah tanpa gangguan.

Karena ternyata kita belum selesai.

Kita belum siap menerima harus berbagi fokus hidup dengan memikirkan orang lain. Kita masih ingin lebih mendahulukan kepentingan kita. Rumah tangga adalah beban.

Ketika seorang hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan setengah agamanya. Maka bertaqwalah kepada Allah pada setengah sisanya. ~ H.R Anas bin Malik RA

Rasulullah pernah mengatakan kalimat indah untuk pasangan yang menikah. Hidup sendiri ternyata belum dianggap 'sempurna' untuk perkara dunia.

That's why itu berat sister. Kamu ga akan kuat kalau gak paham ilmunya. Kamu akan merasa beban kalau gak tahu manajemen emosinya. Kamu gak akan siap kalau belum selesai dengan urusan diri sendirinya.

Kenapa ibu-ibu kerap dicap bawel oleh semesta? Iya bener, semesta. Manusia di belahan dunia manapun tahu, kalau perempuan itu (apalagi kalau sudah jadi ibu-ibu) dianggapnya marah-maraaahhh terus. Kenapa sih?

Banyak jawabannya. Kepanjangan ga sih kalau ditulis di sini. Ibu-ibu bakal punya 5 juta alasan untuk defense label bawelnya.

Bagaimana Manajemen Waktu Ibu Bekerja yang Seimbang?

Saya juga seorang perempuan dan seorang ibu. Masuk dalam katerogi ibu-ibu berlabel bawel tadi. Untungnya sampai saat ini ga dapet label 'bawel-bawel' banget sih 🤭

Pasangan (suami/istri), anak, adalah 'orang lain' yang muncul dalam hidup kita di separuh perjalanan hidup dan ibadah yang kita jalani. 

Mereka adalah orang baru yang memiliki kewajiban serta hak yang terikat sepanjang semesta menentukan tadir ada dalam hidup kita. Selain diri sendiri.

Manusia baru, karakter baru, sifat baru, semuanya hal yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Kemudian mereka ada, dan kita memiliki tanggungjawab atas perkara yang harus wajib kita lakukan.

Lalu bagaimana kita bisa hidup bersama? Bagaimana kita bisa memberi hak atas kehidupan mereka? Bagaimana kita berdamai dengan kondisi, ketika kita belum selesai dengan diri sendiri?

Pasangan dengan hak-haknya yang harus kita penuhi. Anak-anak dengan hak-haknya yang wajib kita cukupkan. Berat, jika kita masih sibuk dengan ego dan mengutamakan kepentingan pribadi.

Itu sebab kita perlu perbaikan mental, manajemen emosi, kontrol diri sendiri agar bisa berjalan beriringan. Tahu bahwa apa yang kita lakukan semata-mata adalah ibadah.

Taat pada suami, bukan hanya karena mereka kepala rumah tangga yang memberi kita sandang, pangan, papan atau ngasih jajan tiap hari. Namun taat karena Allah perintahkan. Tunaikan hak-hak mereka tanpa banyak syarat, tanpa ada kewajiban imbal balik mereka harus baik atau 'ya tergantung suaminya gimana dulu'.

Kalimat 'tergantung suaminya gimana dulu' adalah sebuah gambaran dan cerminan diri bahwa mereka merupakan refleksi atas apa yang kita lakukan dan prasangkakan selama ini.

Mendidik dan mengasuh anak-anak adalah amanah dari Sang Maha pemilik semesta, titipan, yang kita bisa menjaga dan memastikan kehidupan mereka baik dan kembali dalam keadaan baik.

Lelah, pasti. Fisik, perasaan, emosi, amarah, sepaket dengan ujian ekonomi yang 'duh ya kok hidup kita gini-gini aja'.

Support system terpenting untuk menjaga kewarasan dan emosi adalah orang terdekat, yang artinya adalah pasangan. [Yaa mungkin sesekali minta pendapat orangtua, boleh lah, untuk perkara yang meminta pendapat mereka].

Support system istri ya suami dan anak-anaknya. Support system suami, ya anak-anak dan istrinya.

Bagaimana ketika sistem itu kita hancurkan. Ketika berselisih dengan pasangan, perempuan memaki atau suami teriak tanpa belajar adab bagaimana cara menyampaikan.

Melarang anak-anak dengan amarah, bentakan, dengan alasan 'udah habis kesabaran'.

Manajamen emosi dan menyelesaikan ego setelah pernikahan itu butuh mental yang kuat. Kita harus siap. Maka di kondisi apapun, kita tahu bahwa memang tugas kita sekarang, ya seperti itu.

Baca juga dong Menjaga Diri Tetap Waras

Ada banyak ilmu parenting dan nasehat pernikahan yang bisa diikuti siapapun, gratis maupun berbayar. Tidak ikut pun hak masing-masing, kita hanya cukup berdamai dan pastikan telah selesai dengan diri sendiri. Sebelum menghabiskan hidup dengan 'orang lain'.

Akhir-akhir ini saya kerap merenung, bahwa dedikasi hidup saya semakin mengerucut dengan lingkaran yang berputar-putar hanya dari dan kembali ke suami dan anak-anak saja. Mereka adalah rumah saya.

Tidak pernah terpikir untuk wajib sebulan sekali hangout dengan teman-teman sekolah/kuliah, menitipkan anak-anak ke orangtua karena lelah harus mengurus mereka setiap hari, gampang marah karene lalah dengan pekerjaan rumah yang gak ada selesainya, bentak anak karena emosi yang meledak-ledak.

Rasa lelah fisik dan perasaan saya, tidak bermakna apa-apa, karena tahu bahwa itu adalah kewajiban yang memang sudah semestinya saya lakukan.

Bukan 'hanya' me time, cara mengendalikan emosi dan menjaga diri tetap waras ternyata kita harus tahu ilmunya. Dalam agama Islam, semua sudah ada panduan. Tergantung apa kita mau menerima dan mempelajarinya.

Saya latihan tiap hari tentang manajemen emosi. 

Karena saya sedang berusaha selesai dengan diri sendiri. 



Selangkah, dua langkah, tiga, empat dan seterusnya. Seberat apapun beban di bahu, faktanya kita tetap bertahan dan masih bisa melanjutkan hidup sampai detik ini.

Bukan hanya sebuah pembenaran, bahkan dalam Alquran sudah dikatakan bahwa manusia diciptakan dengan salah satu sifat 'suka mengeluh' [QS: Al-Ma'arij 19].

So, sesekali merasa lelah dan rasanya hampir putus asa tidak apa-apa. Ketika itu terjadi, yakin bahwa iman selalu ditempatkan di posisi tertinggi dan akan selalu ada jalan untuk keluar dari masalah.

Jika semesta memiliki loker raksasa dengan label 'masalah' hidup manusia yang bisa diisi berdasarkan kategori, pada kenyataannya hampir semua cerita para pengisinya sama. Hanya 'tingkat kesanggupan dan rasa yakin individu tersebut dalam menyelesaikan masalah'-lah yang membedakannya.

Lucunya, dari sekian banyak perkara yang terjadi dalam hidup, terkadang ada hal yang penyebabnya justru datang dari diri sendiri. 

Merasa insecure, gak PD-an, negative thinking, kurang yakin, bahkan sering mengecilkan nyali sendiri, dan segala hal yang akarnya berasal bukan dari luar tapi kita yang menciptakan.

Dan, ketika permasalahan itu besar datangnya dari dalam justru lebih sulit untuk mencari penyembuhan. Itu sebabnya diperlukan metode penting yakni seni menghargai diri sendiri.

Beberapa waktu lalu, di tengah jeda hiatus saya yang tidak menuangkan tulisan apa-apa di blog ini. Saya banyak menerima banyak hal, salah satunya terkait self esteem dan belajar seni merasa cukup.

Memahami, menerima, dan meningkatkan self esteem

Self Esteem, adalah sebuah seni untuk lebih mengenal, menerima, dan menghargai diri sendiri. Mencintai diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tidak sering membandingkan diri dengan orang lain.

Salah satu pondasi yang memperkuat pertahanan diri untuk tetap berpikir positif ketika menghadapi segala permasalahan hidup.

Lantas bagaimana langkah awal kita untuk lebih bisa mengenal 'siapa kita?, 'apa kelebihan yang harus kita kembangkan dan kekurangan yang mungkin bisa kita jadikan potensi?', 'apa hal yang paling ingin dilakukan?', 'bagaimana mengatur manajemen risiko perasaan ketika dalam kondisi tidak baik-baik saja?', dan segala macam pertanyaan untuk lebih memahami diri sendiri dengan baik.

Dan langkah selanjutnya adalah berusaha untuk menerima dengan utuh, untuk kemudian memperbanyak menghargai diri sendiri dengan tulus.

Jujur. Hal utama yang terkadang sulit kita lakukan bahkan pada diri sendiri adalah untuk selalu merasa jujur. Melakukan tindakan yang sejalan dengan perasaan, jangan kerap membohongi diri sendiri apalagi hanya untuk sebuah pengakuan dari orang lain. Bahkan ketika kita tidak menerima kenyataan, bagaimana semesta akan berada pada keberpihakan.

Self-talk. Bukan hanya pasangan atau rekan kerja yang harus banyak diajak bicara, diri sendiri juga. Di waktu-waktu sendiri, ajak diri berdamai dengan keadaan, bicara dari hati untuk pribadi. Tanya dengan jujur apa yang kita inginkan, bagaimana cara kebahagiaan ini dirayakan. Katakan 'kita akan baik-baik saja' dan 'kita bisa melewatinya, sekali lagi' ketika sedang krisis percaya diri.

Bangun relasi positif. Bukan hanya sekadar imbauan, kita disarankan untuk memilih circle pertemanan yang merujuk kepada hal kebaikan. Ketika di hati sudah tidak nyaman, berada di suatu lingkungan yang berangkat dari memaksakan diri, maka selamanya akan terasa beban, dan pelan-pelan kita menyakiti diri sendiri setiap hari. 

"Seseorang itu tergantung agama teman dekatnya. Oleh karena itu, hendaklah seseorang dari kalian memerhatikan siapa yang dia jadikan teman dekatnya." ~ H.R. Abu Dawud

Dewasa ini, kita  semakin menyadari bahwa yang ada di sekitar kita adalah mereka yang benar-benar peduli. Jangan resah ketika lingkungan terasa tidak berpihak, karena dukungan dari mereka yang menyayangi akan tetap ada. Kita yang akhirnya mengakui itu, fokus, beri mereka rasa sayang lebih banyak untuk perasaan semakin bertumbuh dan hangat.

Pilih rekan, relasi yang benar-benar memberi pengaruh positif. Positif untuk keberlangsungan hidup, percakapan dua arah yang tidak bersinggungan, sejalan dengan apa yang kita yakini, dan الله عز وجل ridhoi.

Belajar Menerima. Konsep penerimaan diri tidak hanya mengakui kelebihan dan mengapresiasi keberhasilan. Apa-apa yang selama ini terasa sebagai kelemahan, kekurangan, hal yang selama ini dianggap 'buruk' dan sulit untuk diubah, jadikan semuanya sebagai sesuatu yang penting.

Memahami kekurangan diri justru membuat kita menjadi paham apa hal yang bisa diperbaiki dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan.

Berproses, kuasai emosi, manajemen risiko untuk mengendalikan diri saat merasa semuanya kacau. Sebesar apapun kesalahan yang dilakukan, kita adalah kita yang tahu kualitas, usaha, kekuatan dan apa yang seharusnya tidak diulangi. Tidak selalu menyalahkan.

Bersyukur. Di atas semuanya ada rasa syukur yang harus selalu diucapkan berulang-ulang, tanpa cukup. Mensyukuri kondisi adalah salah satu cara menjaga kadar keyakinan kita bahwa apa yang kita miliki saat ini, adalah versi terbaik dari pengendali semesta, الله عز وجل.

Lebih ringan ketika kita berjalan tanpa seringkali membandingkan. Adu kondisi dengan orang lain yang bahkan kita tidak pernah tahu bagaimana mereka menjalani proses. Tujuan kita jelas berbeda dengan masing-masing individu lain.

Karena katanya 'comparison is the thief of happiness', membandingkan itu mencuri kebahagiaan.

Sesekali melihat kiri kanan untuk berhati-hati, mengadaptasi kebaikan, mengabaikan segala yang dirasa akan menghambat perjalanan. Sesederhana itu.

Meski, iya betul, praktiknya tidak segampang itu. Itu sebab kita harus selalu melatih pemahaman tentang seni  merasa cukup.


Seni Hidup Merasa Cukup

Saya pernah membaca sebuah tulisan yang kurang lebih isinya tentang 'sebaiknya kita melakukan pengurangan untuk membuat perubahan yang lebih baik'.

Maksudnya seperti apa? Bukannya proses bertumbuh itu artinya menambah? Menambah rasa percaya diri, menambah keyakinan, menambah lebih banyak tabungan.

Lakukan 'penambahan' pada sebuah proses yang menuju arah kebahagiaan atau definisi sukses. Sementara di lain hal, ada beberapa perkara yang juga harus dikurangi untuk mencapai nilai seimbang.

Misalnya, kurangi begadang yang tidak perlu, kurangi hubungan atau lingkungan yang terlalu toxic, kurangi kebiasaan rebahan berlebih, atau scrolling media sosial tanpa tahu tujuan atau bukan perkara mengkaji ilmu.

Menguasai seni merasa cukup perlu banyak latihan, diaplikasikan dengan banyak ucapan syukur dan mengurangi untuk bertambah.

Kurangi harta dengan sedekah, untuk menambah keimanan, keyakinan bahwa akan terganti dengan rezeki dalam bentuk lain.

Kurangi hasad atau iri atas kebahagiaan orang lain untuk menambah nikmat hidup yang kita miliki saat ini.

Kurangi buruk sangka atas segala takdir, yang pada akhirnya itu adalah versi terbaik untuk kita jalani.

Cukupkan keinginan dengan tujuan yang lebih terukur, terarah, dan mengikuti aturan yang sudah الله beri petunjuk.

Qanaah (قَنَاعَةٌ ), puas menerima apa yang diperoleh dan dimiliki. Pertebal sifat ini untuk menghalau karakter rakus, serakah, tidak pernah merasa cukup, yang berujung pada lupa nikmat bersyukur.

“Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah mengaruniakannya sifat qana’ah (merasa puas) dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)

 


Welcome (penghujung) 2023!

Dua tahun gak pernah update blog dan hari ini kambek di kuartal ke-3 tahun 2023. Comeback dengan curhatan berdarah-darah yang sekitar 2 tahunan ini fiuhhh ternyata cukup berat yaa hehe

Dua tahun vakum, dateng-dateng ngeluh.

Ada banyak hal yang membuat saya menjadi seorang yang sangat aktif menulis di blog. Ada beberapa alasan yang memaksa saya untuk berhenti sejenak. Kemudian memutuskan kembali ke 'rumah' ini karena memang selalu menjadi sebuah keharusan.

Dua tahun yang cukup berat untuk...

Membagi waktu antara sibuk dengan dunia pekerjaan, keluarga, lingkungan, dan semakin mengenal diri saya sendiri. Membagi banyak peran dalam satu waktu ternyata tidak semudah itu.

Terlebih ketika status ibu beranak satu saya berubah menjadi mom of two, alias ibu beranak dua. Amanah memiliki rezeki berupa dua anak itu kami sambut dengan sebenar-benarnya. Menyiapkan segala untuk meminimalisir segala kesalahan pada akhirnya.

Tidak hanya berbicara tentang finansial, tetapi juga kesiapan mental. Tidak hanya mental sebagai orangtua, tetapi juga psikologi anak pertama. Saya perlu membuat kesepakatan besar dengan pasangan untuk menyambut kebahagiaan utuh dengan tanpa banyak mengeluh.

Sampai saya benar-benar siap, saya bersembunyi di balik kata istirahat untuk memaknai secara benar. Bagaimana kesiapan saya untuk menjadi seorang istri, ibu dari dua anak, karyawan aktif, dan menghadapi setiap waktu yang berjalan dengan tetap waras.

Kerawasan perasaan seorang perempuan yang memiliki tanggungjawab tidak hanya satu, butuh dealing serius.

Di luar, terkadang saya kerap melewatkan banyak hal, banyak skip, tapi di rumah anak-anak saya tidak boleh tahu berapa banyak masalah di kepala yang saya pikirkan.

Di rumah, ada sekian masalah tumpang tindih datang silih berganti. Ketika berhadapan dengan klien, mereka hanya mengenal wajah saya dengan keprofesionalitasannya. Tidak peduli dengan urusan pribadi.

Baca juga ini dong Manajemen Waktu Ibu Bekerja yang Seimbang

Selama hiatus, saya sering meluangkan waktu untuk berselancar di media sosial. Memilih informasi apa-apa yang harus saya konsumsi dan mana yang tidak terlalu penting untuk saya ketahui.

Mencari dukungan untuk tetap bahagia menjadi seorang wanita dengan berbagai peran. Peran yang sudah dipilih tanpa paksaan, tahu konsekuensi, dan saya siap untuk ini.

Di luar, ada banyak sekali wanita super hebat dengan segala macam peran aktif mereka saat berjalan di atas bumi Allah ﷻ.

Ibu bekerja sambil mengurus 5 anak (bahkan lebih) sekaligus, menjadi business woman dengan karir yang gemilang, menjadi content creator yang berhasil menggali dan mengembangkan potensinya sendiri, menjadi wanita rumahan utuh dengan memperbanyak ilmu agama dan tidak lelah mengurus kedua/ketiga/ke-empat putra putrinya, sambil menantikan suami pulang ke rumah di jam yang sudah ditentukan, bahkan single mother yang berjuang dengan selalu tersenyum menatap semesta dan 'mengatakan saya baik-baik saja.'

Semuanya memiliki peran masing-masing, semuanya jelas tidak mudah. Kita hanya berusaha untuk tidak pernah menampakkan keluh kesah kepada siapa-siapa.

Ibu bekerja sambil urus anak di rumah, gimana cara atur waktunya? baca di sini

Dan saya, dari itu semua belajar banyak hal.

Bahwa sejatinya, kita hanya butuh fokus pada peran kita. Terlalu banyak melihat kehidupan orang lain hanya akan menambah beban pikiran. Melihat kehidupan yang lebih tinggi, memunculkan rasa iri. Melihat kehidupan yang (seolah) tidak lebih baik dari kita, kerap membuat kita gampang berbangga dan tinggi hati.

Memilih untuk fokus berjalan sesuai track yang dipilih sedari awal. Saya adalah seorang istri, memiliki dua putra yang harus saya pastikan masa depan mereka berada di jalur yang sesuai. Jalan yang Allah ﷻ ridhai.

Memastikan kebutuhan suami dan anak-anak di rumah tidak ada yang kurang, berusaha menjadi karyawan yang baik di perusahaan, komunikasi dengan keluarga, saudara, teman, tetangga dan lingkungan sekitar tetap nyaman.

Sesekali healing, me time, hangout dengan rekan sefrekuensi, jajan pinggir jalan dengan anak dan suami, adalah sebuah peralihan.

Peralihan dari rasa lelah, kecewa, putus asa, rasa tidak percaya diri, pusing menghadapi rekan kerja, harus tetap sabar melihat tingkah polah anak yang kadang tak terkendali. Dan lain-lain, dan sebagainya.

Dan hanya ada satu cara untuk menjadikan diri tetap waras dengan berbagai peran yang saya jalani di atas. Yaitu semakin mendekatkan diri kepada Yang Maha membuat saya hidup.

Berbagai masalah di dunia ini, berbagai peran manusia yang berpijak di atas bumi, level kekuatan menanggung semuanya harus sejajar dengan iman. Maka semuanya akan terasa baik-baik saja.

Semua perempuan di atas hebat. Karena mereka diberi kekuatan lebih oleh Sang Pencipta untuk sanggup menerima setiap permasalahan hidup yang ditanggungnya. 

Ketika saya memilih peran ini, saya hanya perlu berpegang pada kekuasanNya untuk bisa tetap hidup dengan baik. Mencerna segala masalah dengan keyakinan semua pasti ada jalan penyelesaiannya. Sebab 'Jika itu baik, mustahil Allah tidak beri jalan'. 

Inilah salah satu penguat terbaik untuk menjaga kewarasan. Dua tahun yang terlewati kemarin, adalah momentum introspeksi terbanyak yang pernah saya lakukan dalam hidup.

Ketika semua disandarkan sama Allah ﷻ, ternyata kita bisa lho :)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Aya zahir

Aya zahir

About Me

Suka menulis, rajin membaca dan gemar menabung. Aktif nge-Blog dari 2010.

Subscribe & Follow

Popular Posts

  • Pride and Prejudice, Jane Austen. Roman Terpopuler Sepanjang Masa
  • 5 Snack Diet Murah di Indomaret, Alfamart
  • Body Care Review : Shower Scrub, Body Scrub & Brightening Body Lotion by Scarlett Whitening
  • Review : Body Scrub & Shower Scrub Coffee Edition by Scarlett Whitening
  • Kenapa Saya Resign dari Perusahaan Negara dan Pilih Kerja dari Rumah Aja

Blog Archive

  • ►  2025 (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
  • ▼  2023 (3)
    • ▼  November (1)
      • Manajemen Emosi Para Ibu 'Berlabel' Bawel
    • ►  Oktober (2)
      • Meningkatkan Self Esteem dan Belajar Seni Hidup Me...
      • Menjaga Diri Tetap Waras
  • ►  2021 (18)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2020 (47)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (1)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (16)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2019 (53)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (11)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (14)
  • ►  2018 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2016 (6)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Februari (5)
  • ►  2015 (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2014 (4)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2012 (61)
    • ►  Oktober (8)
    • ►  September (11)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (11)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2011 (51)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (10)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (19)
    • ►  Juni (9)
  • ►  2010 (4)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)

Part Of

Blogger Perempuan
1minggu1cerita
BloggerHub Indonesia

Teman Blogger

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Styling By Yanikmatilah Saja | Theme by OddThemes.

COPYRIGHT © 2020 Aya Zahir | Origin by OddThemes. Styling by Yanikmatilah.