Helen dan Sukanta, Kisah Cinta Lebih Romantis dari Dilan dan Milea


Saya pikir novel Dilan dan Milea sudah sangat 'romantis' dengan kekhas-annya. Ternyata tidak. Helen dan Sukanta berhasil mengalahkannya. Iya saya pikir begitu.

Membaca novel ini seperti naik roller coaster, dibawa senang sejak membuka halaman pertama. Kemudian ikut kesal di halaman selanjutnya. Bahagia hampir di ujung cerita. Dan perasaan meledak haru, pahit, getir di halaman terakhir. Menutup buku dengan perasaan tidak percaya.

Sial. Cerita yang sangat menyebalkan.

Di awal, saya merasa happy sekali membaca prolog novel ini. Saya seakan ikut duduk di samping Ayah Pidi bertemu Oma Helen di restoran Lachende Javaan, Belanda, memandang jelas sisa-sisa garis kecantikannya. Ikut tersenyum mendengar pembukaan ceritanya tentang bagaimana Oma Helen, sang noni Belanda lahir, kecil, kanak-kanak, hingga remaja, masa-masa indah tinggal di Indonesia.

Pikiran saya seolah masuk ke lorong waktu, ikut menghirup udara pagi yang sejuk dan kabut yang menyelimuti langit Tjiwidey. Senyum-senyum membayangkan kisah cinta Oma dengan Ukan-nya. Bagaimana rasanya sembunyi-sembunyi berjumpa kekasih pujaan yang tak direstui.

Cinta Helen dan Sukanta, terasa sangat manis. Meski ditimpa kenyataan pahit bahwa noni Belanda 'dilarang' berhubungan dengan pribumi. Bahkan saking manisnya, saya tidak merasa bahwa saat itu orang-orang Belanda begitu menyebalkan, karena menganggap rendah bangsa kita. Menjadikan orang pribumi babu di rumahnya sendiri.

Helen menjadikan saya menyayangi nona Belanda yang lembut, anggun, dan cantik ini. Nona Belanda yang mencintai Sukanta, sang pribumi rendahan dengan tulus dan setia. Meski mendapat penolakan keras pada awalnya.

Saya kira hubungan yang terlarang ini akan berakhir dengan perpisahan gitu aja. Ternyata, takdir menulis cerita roman Helen - Sukanta dengan begitu indah. Sebelum perang dunia kedua pecah. Dua sejoli ini berhasil membuktikan pada dunia bahwa mereka bisa bersatu. Menikah, bahagia, bahkan hingga sang calon bayi akhirnya hadir di tengah-tengah mereka.

Saya salah untuk kedua kali, saya kira akhir cerita ini akan bahagia. Tapi sayang, ini bukan novel fiksi, yang ujungnya bisa diatur penulis semaunya sendiri. Tetapi ini kisah nyata. Fakta bahwa Belanda berhasil dipukul mundur Jepang pada perang memperebutkan kekuasaan atas Indonesia memisahkan semuanya.

Kenyataan bahwa Belanda harus terusir dari Negara Indonesia menjadi ujung dari kisah cinta Helen dan Sukanta. Mungkin saat itu, di tahun 1945 Indonesia meneriakan kemerdekaannya. Pahlawan kita merayakan kebebasan. Tapi di sisi lain, Helen sang nona Belanda menjerit. Hingga menyalahkan Tuhan yang menulis takdirnya begitu pahit.

Kehilangan suami tercinta yang tidak pernah tahu nasibnya, kehilangan calon bayi yang dikandungnya, kehilangan orangtua yang tak tahu kabarnya.

Hingga halaman terakhir novel ini, saya masih belum bisa percaya. Oma Helen yang kembali ke Belanda, tidak menikah lagi hingga akhir hidupnya, setia pada cinta sejatinya untuk Sukanta.

Membaca dialog:

"Sampai sekarang, tidak pernah ada kabar tentang Ukan?"
"Aku selalu menunggu"
"Di Belanda, Oma tidak menikah lagi?"
"Aku setia pada masa laluku"

Darah saya berdesir kuat, merinding, tak terasa saya menangis, cinta sejati itu ternyata benar-benar ada.

Terima kasih ayah Pidi Baiq sudah menulis cerita semenyenangkan ini

0 Comments

Silahkan tinggalkan pesan di sini: