Pernikahan, Ternyata Tidak Sesederhana Itu Mencintai Seseorang


Dear you,

Kamu tahu, seberapa banyak pun saya berusaha mengingat, sebanyak itu pula ingatan saya melemah. Entah kapan kita pertama kali bertemu. Yang pasti bukan di bulan ini atau di bulan itu.

Maret 2013
Kita masuk salah satu stasiun TV yang pada saat itu nama TV-nya saja belum ada. Kemudian waktu sama-sama membawa kita masuk dalam arus yang berbeda. Kamu dan kehidupanmu, dan saya dengan rutinitas saya. Di kantor yang sama.

Entah, saya sama sekali tidak pernah berpikir bahwa ada ‘kamu’ dalam cerita perjalanan hidup saya pada saat itu. Satu atap, satu atasan, satu seragam. Tapi saya tidak menyadarinya. Atau lebih tepatnya kita sama saling tidak memerhatikan.

Saya yang sibuk dengan perasaan saya yang tertuju pada satu orang. Dan kamu yang sibuk tebar pesona ke sudut sana, tebar pesona ke sudut situ.
Perjalanan yang begitu panjang, perjalanan yang bahkan tidak pernah saya kira akan berakhir demikian. Takdir selalu selucu itu.
Kita yang tak saling mengenal, hingga…

Desember 2014
Cerita yang hanya kita yang paham betul seperti apa alurnya. Kamu terjebak dalam satu arus yang kemudian menuju saya. Dan saya yang juga terperangkap dalam arus yang menuju kamu.
Banyak sebab, yang pada akhirnya kita menjadi dekat. Menjadi saling peduli. Menjadi saling memerhatikan.

Januari 2015
Beberapa bulan setelah ini, akhirnya saya dan kamu sama-sama saling memiliki. Bahkan saya tidak mengenalmu sebelumnya. Meksi padahal kita masuk satu angkatan (semacam mahasiswa).

Saya yang tidak tahu kamu seperti apa dulu hidup, begitu gampangnya percaya bahwa kamu ‘baik’.
Saya yang terlalu terobsesi untuk menikah dengan lelaki baik, memiliki banyak kriteria ini dan itu terhadap pasangan, punya ekspektasi tinggi ingin memiliki suami yang bla bla bla…

Dengan banyak alasan yang diberikan oleh waktu, saya memilih kamu.

Saya memiliki banyak perjalanan cinta yang rumit, yang tak satupun berakhir dengan baik. Dan pada akhirnya, semesta menjawab semua doa saya dengan menghadirkan kamu.
Enam bulan setelahnya, kita berjalan sambil membuat mimpi. Mimpi yang pada awalnya milik masing-masing, hingga kemudian menjadi mimpi ‘bagaimana kalau kita…’

Agustus 2015
Setelah melewati berbagai macam scene dalam scenario hidup yang dirancang Tuhan, Alhamdulillah, kamu melamar saya, 10 Agustus 2015.

Jangan pertanyakan perasaan saya pada saat itu. Karena bahkan hingga tulisan ini dibuat, saya masih belum percaya sepenuhnya bahwa saya memiliki jalan ini, bahwa saya memiliki kamu.
Bahagia, tapi ada yang lebih besar dari sekadar perasaan bahagia. Dan saya memilih kata-kata itu.
Enam bulan berikutnya, katamu. Kita akan menikah.

Pernikahan.

Kata-kata paling sakral dalam hidup semua orang. Untuk sampai pada titik itu, bukan hal yang sama sekali mudah apalagi dipermainkan. Saya dan kamu berjalan dengan tatapan kosong, berjalan dengan isi kepala yang penuh hal tak terduga. Saling menatap berusaha membaca pikiran masing-masing “Benarkah, kita akan menikah?” hey, tidak segampang ini ternyata.

Bukan ragu, tapi lebih kepada yakinkah(?),memilih pasangan untuk dinikahi, berarti adalah selamanya. Selama apa, selama kita mampu bertahan untuk terus bergandengan tangan (tanpa sekalipun saling melepaskan), meniti jalan yang Tuhan buka untuk kita. Menuju_Nya. Selama itu, kita berjalan beriringan, sesekali kamu di depan, sesekali saya mendahului, sesekali kamu berhenti karena lelah dan saya menunggumu sambil bantu menguatkan. Terus seperti itu berulang-ulang, dan itu tidak pernah mudah, kita tahu.

Namun, kita tidak pernah tahu, seberapa banyak cinta di hati masing-masing. Entah lebih banyak dari yang kamu perkirakan, atau kamu memiliki perasaan yang tak pernah saya duga. Kita hanya terus berusaha mencari alasan apa yang paling tepat untuk selalu saling mencintai setiap hari.

Pernikahan bulan pertama…

Januari 2016
Satu tahun dari waktu kita saling mengenal, akhirnya kita melangsungkan pernikahan sederhana. Tepat di tanggal 17 (yang tidak memiliki makna khusus, karena kebetulan hari Minggu).
Beberapa teman dekat hadir, dan saudara lebih banyak.
Beberapa kendala ada, tapi kebahagiaan yang didapat jauh lebih penting.

Lampung (kota kelahiran saya, kemudian besar dan tumbuh) menjadi tempat pilihan kita melangsungkan pernikahan. Beberapa hari sesudahnya, pulang ke Jakarta dengan memilih penerbangan siang. Masih harus mikir pindahan, membersihkan rumah kontrakan baru, belanja ini dan itu layaknya pasangan baru yang bahagia dan bingungnya sama banyak.

Beberapa hari setelahnya, dari Jakarta kemudian kita ke Bandung, akan ada syukuran keluarga dan teman-teman dekat, (tidak termasuk mantan kamu yang banyak itu).
Satu hari penuh acara syukuran yang lebih kepada makan-makannya, akhirnya selesai.
Tidak ada bulan madu setelahnya, bukan karena sibuk, bukan tidak ada waktu. Lebih ke sayang uangnya barangkali, nanti, kalau sudah lebih banyak.

Tiga hari sisa libur yang harus dihabiskan di Bandung, kita akhirnya memutuskan untuk pergi ke tempat-tempat yang saya belum pernah kunjungi sebelumnya.
Bukan ke mana, tapi dengan siapa. Bahagianya sama, karena ternyata bukan tempatnya, tapi siapa yang ada di samping saya saat itu. Bahagia semacam itu yang saya rasakan akhir-akhir ini. Saya yang menjadi susah sekali dibahagiakan, saya yang tidak pernah memilih makanan, akhirnya hanya butuh kamu dekat. Saya tidak lagi peduli, ada di lingkungan seperti apa, makanan apa yang saya kunyah, sebab selama kamu ada, saya tidak ada masalah.
Beberapa hari setelahnya, kembali ke Jakarta. Dengan segala macam perihal yang lagi-lagi harus dipersiapkan.

Februari 2016
Kamu mulai kembali bekerja di tempat yang dulu juga saya bekerja.  Saya? Sibuk download resep masakan, design ruangan minimalis, searching wallpaper rumah dan lain-lain, dan sebagainya.

Kita tidak pernah banyak bicara, tidak pernah membahas tentang mimpi yang melangit. Kita tahu masing-masing apa tujuan selanjutnya, dan melangitkan doa di tiap kesempatan. Berdoa berdua, mudah-mudahan keinginan kita yang keukeuh, semesta ikut aamiin-kan.

Bicara tentang perubahan, tidak terlalu banyak. Hanya selayaknya rumah tangga pada umumnya, kamu bertugas sebagai suami, dan saya (pura-pura) sibuk menjadi istri yang selalu berusaha menjadi yang terbaik. Belajar memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian dan piring setiap hari. Menyiapkan pakaian apa yang akan kamu kenakan hari ini, memastikan tidak ada yang tertinggal ketika kamu berangkat kerja. Semacam itu.

Beberapa minggu usia pernikahan kita, kita baru berjalan beberapa meter dari pintu.


Jangan pernah lepaskan tangan saya, begitu sebaliknya. Akan ada banyak hal yang tak pernah kita duga, tapi kita sudah tahu, ada Tuhan yang senantiasa hadir di dalam setiap detik hidup kita. Selama itu, kita tidak pernah takut, Kekasih :) 

0 Comments

Silahkan tinggalkan pesan di sini: