Aya Zahir
  • Home
  • About
  • Travel
  • Parenting
  • Review
  • Blogging
  • Portfolio
Ketika aku tengah belajar mengepakan kedua sayap rapuhku, aku berharap kau tetap tersenyum di bawah sana ke arahku meskipun tertutup kabut. Aku percaya, engkau akan selalu setia menemaniku, malaikat pelindungku.
***

“Kamu suka?” Ucapnya.
“Hmm...” Aku hanya mengangguk tanpa bisa menatap langsung kedua matanya yang menyejukan hatiku.

Ini kali pertama aku keluar dari istanaku, menembus batas kehidupanku yang tertutup, aku yang tak pernah bisa mencintai, aku yang masih takut menginjakkan kaki keluar dari duniaku yang serba terlindungi, aku yang tak pernah membayangkan sesuatu yang semua orang sebut itu indah. Pendeknya aku belum pernah merasakan bagaimana jatuh cinta.

Orang tua bilang, jangan coba-coba jatuh cinta, sekali kamu masuk, maka akan sulit untuk keluar. Kamu akan merasakan pedih perihnya dicampakkan, sakit hati, disakiti, dikhianati, belum lagi dibumbui rasa curiga, cemburu, salah paham, harus mengerti apa yang pasanganmu suka dan tidak suka, namun belum tentu semua yang kamu suka dan tidak suka akan dimengerti oleh pasanganmu. Tetap disini, jangan pernah keluar. Di luar sana begitu kejam, mereka (para pria) itu jahat. Ambisius, mau menang sendiri, egois, selalu akan melarang sesuatu yang mereka tidak suka padahal kamu menginginkannya, berkelakuan sekehendak hati, kamu siap?

Aku tertunduk...
Benarkah?
Tepat. Persis seperti dia, Rapunzel. Tokoh utama film animasi yang saat ini aku tonton. Wanita yang bertahun-tahun dikurung di dalam menara tinggi tanpa tersentuh apapun. Tak diperbolehkan sedikit saja menghirup udara luar, udara kebebasan. Seperti aku.

Aku tersenyum, dideretan ke 3 kursi pengunjung 21. Mataku tak berkedip, ketika melihat Rapunzel, yang akhirnya keluar menginjakkan kaki ke bumi, merasakan halusnya rumput liar, harum bunga, dan dinginnya air pegunungan, kemudian lari menerobos gelapnya hutan, berusaha keluar dari berbagai ancaman dan orang-orang jahat yang mengintainya, dengan sebuah keberanian dan seorang pria disampingnya.

Akupun melirik seorang pria disampingku. Pria dewasa dengan segurat garis kedewasaannya, jelas tergambar keistimewaannya, tegap, pintar, berwibawa, tegar, dan pemberani. Aku menyukainya. Entah sebagai apa, nyaman ketika berada disampingnya, tak terlukiskan, ingin sekali aku mendekapnya, sama seperti Rapunzel mendekap Flyn Rider (tokoh pria dalam film itu). Tapi aku tak seberani dia.

Hingga film ini berakhir, aku tetap mengaguminya, mengagumi Rapunzel, dan mengagumi pria yang ada disampingku. Jelas, yang kulakukan hanya mengaguminya, dia berdiri begitu gagahnya, sedangkan aku, hanya bisa menatapnya lemah dengan penuh kekaguman, aku tak bisa berbuat banyak. Hanya mengikuti kemana langkahnya pergi tanpa bisa mengimbanginya apalagi mendahului. Berbeda sekali, dengan pasangan-pasangan lain yang ketika jalan berdua dengan kekasihnya, mereka bergandengan tangan dan sang pria mengikuti kemana wanitanya melangkah. Tidak. Aku tidak seperti mereka. Karena aku tidak pacaran, aku tidak mencintainya, justru aku takut mencintainya. Aku hanya terus mengikuti langkah kakinya.
***

Aku, peri kecil dengan sayap yang begitu rapuh, kaki dan tangan yang belum bisa berpegangan kuat kes alah satu dahan, tawaku masih lepas tanpa beban, tangisku keluar tanpa kebencian, hatiku belum ternoda oleh merahnya cinta, hitamnya luka, dan birunya kesedihan, tak tersentuh, belum terjamah, aku benar-benar peri kecil yang belum mengerti apa-apa, belum mampu menatap dunia luas apalagi sendirian. Tapi tiba-tiba kuat karena kehadirannya sejenak dalam kehidupanku.
Malaikat pelindungku.

Tiba-tiba hadir memasuki kehidupanku. Seorang pria dewasa dengan sayap kekarnya, menyambut tanganku agar aku bisa bangkit berdiri, mengepakkan sayap rapuhku meninggalkan istana dan terbang bebas mengelilingi dunia. Menatap langsung indahnya cahaya matahari sekaligus belajar menghindari dari kilat dan hujannya. Aku diajarkan bagaimana merasakan harumnya mawar, serta dilatih bagaimana agar aku tidak menangis ketika terkena durinya. Dia, mengajarkanku semuanya. Aku mulai bisa tersenyum.

Perlahan dengan sedikit rasa takut, aku mulai mengepakkan sayap rapuhku. Mencoba keluar dari istanaku. Memaksa hati untuk tidak membayangkan sesuatu yang jahat dan buruk seperti yang mereka (orang tuaku) katakan.

Ternyata,,,
Indah. Tidak semua yang mereka bilang itu benar. Pria itu tidak semua jahat, tidak semua egois, tidak selalu mementingkan diri sendiri, tidak juga melukai hatiku. Bahkan tetap memanjakkanku, seperti orang tua dan keluarga yang selama ini mengikatku dengan perhatian dan kasih sayang mereka. Sehingga sedewasa ini, aku tumbuh menjadi peri tetap dengan sayap yang rapuh. Tak bisa terbang sendiri.
Aku mulai menyadari aku membutuhkan seorang malaikat dengan sayap kekarnya merengkuhku, mengajakku terbang, membimbingku, dan mencintaiku.

Cintakah? Entahlah...
Yang jelas aku ingin menjadi malaikat juga, seperti dia (lebih tepatnya, aku ingin berada disampingnya), dengan sayap yang kekar seperti mereka.
Aku, peri kecil yang sedang belajar terbang.

Belum terlalu lama aku mengenalnya, pria dewasa itu. Tapi dia sudah begitu banyak mengajarkan sesuatu hal yang belum pernah aku dapat dari siapapun pria di dunia ini. Aku tidak hanya diajarkan bagaimana cara melangkah yang benar di alam terbuka, aku tidak diajarkan bagaimana cara menghadapi musuh di luar sana layaknya Flyn mengajarkan pada Rapunzel, tapi aku diajarkan bagaimana caranya mencintai dan dicintai. Sedikit belajar bagaimana mengatakan “aku cinta kamu” secara langsung.

Sayap rapuhku mulai terbentang, siap untuk terbang. Siap menatap indahnya sinar matahari. Ingin mulai menggenggam tangan malaikat pelindungku dengan erat, aku ingin terbang kemanapun ia bawa aku pergi.

Tiba-tiba,,,
Sayap rapuh yang mulai berkembangpun kembali lemah, bahkan mulai menutup. Ketika aku tahu bahwa salah satu sayap malaikat pelindungku telah patah. Rupanya aku bukan satu-satunya peri kecil yang pernah ia ajak terbang, tapi pernah ada peri kecil yang lain. Sayangnya, peri kecil itu mematahkan sayap malaikat pelindungku di tengah perjalanan mereka.

Sakit hatikah aku? Tidak...! kecewa? Juga tidak...! lantas apa...?
Aku hanya bingung. Mungkinkah ku lanjutkan terbang bersama malaikat pelindungku dengan sayap yang sudah tak bisa lagi sempurna..? atau aku mencari malaikat lain, yang berarti aku harus mulai lagi dari awal membentangan sayap.

Dia ternyata hanya mampu mengajarkanku tanpa mampu membawaku melayang di udara. Hati kecilku mengatakan aku tidak bisa terbang dengan pelindung yang hanya memiliki satu sayap. Tapi hati kecilku yang lain mengatakan, aku kuat walau harus belajar terbang sendiri dan suatu saat aku yang akan mengajaknya terbang dengan kedua sayapku yang utuh dan tak lagi rapuh.

Kini biarkan aku mengepakkan sayapku sendiri, dengan engkau tetap ada memandangku dan membantuku bangun sewaktu-waktu aku terjatuh ketika tak sanggup menahan goncangan angin di udara, kau tetap menghapus air mataku ketika duri cantiknya mawar melukai tanganku.

Malaikat pelindungku,, aku mengagumimu. Sangat...!
*Aku peri kecil yang (kini) sudah siap terbang
Ketika dunia telah merubah keadaan, maka hati yang akan menentukan pilihan.

Brakk,,
“Aduh,,”
“Ke tengah bu, ke tengaah,,”
“Rambutan, rambutan, Rambutaaann,, Cililitaan,, ayo mbaak, kosong,, kosoong..”
“Kosong, kosong,, otak lu tuch yang kosong, gak liat pipi gw udah nempel di jendela.”
“Tau tuch, jalan dong baang, udah penuh niich, ih gak punya perasaan amat si”
“Jalan baaang,, anak saya hampir mati kejepit nich”
“Telor puyuh, lor puyuh, tahu, tahu, tahunya mbakk,, mas”
“Yaa permisi bapak ibu sekalian mengganggu perjalanan anda, izinkan kami menyanyikan...bla bla bla”

Tak peduli keluhan dan protes dari mulut para penumpang, si kondektur kopaja terus berteriak dan memanggil orang. Padahal suasana di dalam bus sudah sesak, bahkan untuk melihat jempol kaki masing-masing saja sudah tidak mungkin karena beradu dengan tas dan perut sesama penumpang. Berebutan oksigen yang bercampur bau keringat hanya agar bisa tetap bertahan hingga tempat tujuan. Tak ada yang menggubris pengamen yang suaranya lebih mirip tokek yang sedang sekarat karena ashma.
Tak ada juga yang peduli pada tukang asongan yang menjulurkan tangan di kaca yang warnanya sudah tak lagi putih. Tak peduli jerit isi kopaja, Si kondektur tetap menjejalkan penumpang, hingga 5 anak berseragam abu-abu loncat ke dalam bus, berdiri dengan satu kaki yang sebagian masuk dan sebagian menjulur keluar dan tangan yang bergelayut dipintu bus. Akhirnya bus tua ber nomor 57 jurusan Blok M – Kp. Rambutan itu meraung-raung melaju menembus padatnya arus lalu lintas Jakarta, asap knalpot yang pekatnya menghalangi pandangan, yang seketika bisa menghapus make up setebal 3 cm itu mulai menyatu dengan asap-asap kendaraan lain yang tak kalah hitam. Mobil tua itu tak peduli kendaraan yang melintas, ia meliuk-liuk menerobos kepadatan dengan lincahnya, layaknya pembalap F1 yang melaju di sirkuit menyalip semua mobil lawan. Tak jarang terdengar sumpah serapah dari pengendara sepeda motor yang spionnya kesenggol atau ibu-ibu hendak menyebrang yang terbatuk-batuk kena asap yang keluar dari knalpot dengan suara yang memekakkan telinga sambil sibuk menyelematkan barang belanjaannya yang berjatuhan diterpa wuzz angin kopaja tua itu. Belum lagi jerit histeris para penumpang yang berjejal didalam tubuh 57 tua ketika ia oleng ke kiri ke kanan seolah hampir terbalik, apalagi ketika si sopir yang selalu berkalung handuk kecil lusuh dan sebatang rokok yang menyelip dibibir hitamnya mengerem mendadak. Ah, suasana seperti itu seolah biasa dimata semua warga Jakarta terutama penumpang setia kopaja tua ini, biasa dimata pengendara motor kecil, biasa dimata preman Blok M, biasa dimata para polisi lalu lintas dan biasa di mataku.

Dengan mata terpejam, aku bersandar dikursi plastik yang sebagian catnya sudah terkelupas, persis di pintu masuk bagian belakang kopaja. Aku membuang sisa rokok yang kuhisap sejak 15 menit yang lalu. Aku menikmati alunan musik dari Oasis di telingaku yang suara kerasnya menelan kebisingan dan ramainya suasana di dalam 57 tua. Keadaan seperti ini sudah sangat bersahabat denganku, setiap hari, selama 5 tahun terakhir ini, tidak pernah ada yang berubah.

Namaku Alle, asalku Batam, lahir dan besar di sana. Tapi 5 tahun yang lalu aku memutuskan pindah ke Jakarta. Tepatnya, kabur. Ingin mengadu nasib seperti orang daerah pada umumnya yang mengadu peruntungan di ibu kota. Aku sudah berulang kali pindah kerja, mulai dari penjaga toko, restoran, hingga bengkel mobil. Tapi tak jarang uang yang kudapat habis buat maen bahkan minum-minuman seperti teman-teman yang lain. Awalnya aku ikut-ikutan, lama-lama jadi ketagihan. Satu bulan terkahir ini aku bekerja di distro pakaian anak muda daerah Blok M. Setiap hari aku bolak balik Blok M-Rambutan, karena aku kost di daerah Pasar Rebo. Aku hafal suasana hiruk pikuk serta kebisingan khas kekumuhan Jakarta. Tidak ada yang istimewa, tak ada yang berubah, Hanya ada satu yang menarik, gadis berkerudung putih yang duduk tepat di depanku, yang sejak 5 menit lalu duduk di situ. Selalu di situ. Seolah kursi deretan kedua dari belakang itu memang dipersiapkan untuknya. Bagaimana tidak? Sudah hampir 2 minggu ini aku melihatnya di kursi yang sama, gadis berkerudung putih lebar, berkacamata, mengenakan rok yang selalu sepadan dengan warna baju atau sepatunya, sayang dia selalu mengenakan masker utnuk menutupi hidung dan mulutnya. Mungkin karena tidak tahan asap knalpot yang sekali hirup mengitamkan paru-paru. Tapi sepertinya ia tidak khawatir dengan jilbab yang ia kenakan. Putih, selalu putih. Sepertinya ia tidak pernah takut jilbabnya menjadi kotor kena asap atau debu yang menempel di badan tua kopaja 57 ini.

Dia selalu datang 5 menit setelah aku naik, dan duduk di kursi kedua dari belakang dekat pintu. Tepat didepanku. Aku memang tidak pernah bisa melihat wajahnya yang tertutup masker dan berjalan tertunduk. Tapi aku selalu merasakan kehadirannya. Setiap hari, ketika jam pulang kerja. Entah dari mana dia datang, yang pasti dua minggu berturut-turut ini aku selalu naik di bus yang sama dan posisi yang tak pernah berubah. Kebetulan kah? Entahlah.
Aku tak pernah menegurnya, karena padatnya isi perut 57 tidak memungkinkan aku untuk mengajak dia walau sekedar basa basi ngobrol. Setiap hari ia selalu melintas di depanku. Karena ia datang setelah aku nangkring di singgasanaku, dan selalu turun lebih awal dariku. Akses pintu keluar masuk yang ia lewati sudah tentu akan melintasiku. Aku selalu memperhatikannya, bahkan terkadang aku menghindarkan badan penumpang-penumpang lain yang kebetulan tak sengaja terjerembab hampir menyentuh bahunya ketika si sopir ngerem mendadak, refleks aku melindungi dan menjaganya, tanpa ia sadari tentu. Karena si kerudung putih sendiri selau tertunduk, mungkin memejamkan mata tak peduli kepanikan penumpang 57.

Kira-kira 45 menit dari Blok M, ia bangkit, melintas (tentu dengan tanpa melihatku), turun, lalu hilang ditelan padatnya arus lalu lintas yang hingga larut malampun tetap mengular. Selalu begitu, selama 2 minggu ini. Aku sendiri mulai menikmati kehadirnnya, bahkan selalu menunggunya naik dan duduk didepanku. Aku memperhatikannya dari belakang bahkan melindungi tangan jail yang mungkin entah disengaja atau tidak hendak menyentuhnya.

Hingga hari itu, dia bangkit sebelum tujuan biasa ia turun, karena aku hafal betul di mana seharusnya ia melintas didepanku. Menghampiri pintu, dan mengisyartkan kondektur ingin turun. Aku menatapnya, kebetulan ia memandangku, Hanya sejenak ia menatapku. Sepasang mata itu... seperti aku kenal. Tapi siapa?? Lalu seperti terburu-buru melewati desakan penumpang, loncat keluar. Hilang. 57 kembali melaju kencang. Tapi ada sesuatu yang sepertinya tak sengaja ia jatuhkan dan aku mengambilnya. Dan,,
*****************************
Hampir satu jam aku menunggunya, tapi ia tak kunjung muncul. Berkali-kali aku melirik jam tanganku. Mulai gelisah, dadaku tiba-tiba saja bergemuruh. Kadang kusibakkan rambut yang sengaja ku buat gondrong tak terawat. Hingga akhirnya 57 melesat meninggalkan Blok M. Membiarkan kursi si kerudung putih diisi ibu paruh baya berbadan gempal. Aku beresandar lemas, putus asa.

Keesokan harinya pun sama, ia tetap tak kunjung muncul. Aku semakin gelisah. Ingin rasanya aku mencari si kerudung putih, tapi di mana??



Tidak, bukan, aku tidak mencintainya, dia juga bukan seorang wanita yang pernah menjadi wanitaku di masa lalu yang kemudian kembali dipertemukan denganku. Aku menanti dengan gelisah juga bukan karena aku ingin mengembalikan benda yang ia jatuhkan, lantas aku akan mengucapkan kata cinta. TIDAK..!! dan TIDAK MUNGKIN, bukan karena aku merasa kotor dan ia wanita suci, bukan karena aku merasa beda dunia, tapi karena aku dan dia sama. Karena aku juga wanita..!! bahkan lebih dari itu, aku pernah menjadi seperti dia. Mengenakan pakaian seperti yang ia kenakan. Berkerudung lebar, rapi, dan santun.

Dulu, 5 tahun yang lalu. Sebelum aku lari dari rumah, sebelum ayah tiriku yang merupakan seorang pemabuk yang setiap hari memukuli ibu datang dalam keadaan mabuk dan membawa wanita nakal kedalam rumahku. Sebelum akhirnya pria bajingan itu mati ditanganku.

Dulu sekali,, aku seorang wanita aktif dalam kegiatan kerohanian islam di sekolahku. Mempunyai kawan dekat seorang atheis, keluarga kaya tapi tak berpegangan agama. Saat itu, 5 tahun yang lalu tak lelah aku mengajarkan indahnya islam pada sahabatku, perlahan mengenalkan Alloh dan Rosululloh. Walau aku tahu, ayahnya seorang pemilik perusahaan minuman keras di Batam, walau aku merasa dakwah-dakwahku hanya ditanggapi dengan kerut didahinya. Saat itu, ia dengan tampilan wanita yang selalu tampak sangat cantik ketika datang ke sekolah, menggoda, hobby dugem setiap malam, dengan bibir yang selalu menghisap lintingan tembakau bermerk dan mahal. Bahkan tak terhitung berapa gram obat terlarang yang bersarang di dalam tubuhnya. Tapi entah ia dekat denganku. Bahkan sangat dekat. Dua wanita beda karakter. Dulu, 5 tahun yang lalu. Sebelum aku kabur ketakutan meninggalkan Batam, padahal belum tamat SMA. Meninggalkan islamku, menanggalkan jilbabku, menjudge bahwa semua Pria brengsek dan menyengsarakan wanita. Aku juga meninggalkan Viera, sahabat terdekatku, tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa sempat mendengar apakah ia sudah bisa faseh berkata Allohuakbar. Semuanya kutinggalkan. 5 tahun yang lalu,, dan hari ini,

Allea Zahhra Syarani dan Saviera Ellia Permata,, dua nama, dua dunia yang terikat persahabatan dan terukir menyatu dalam satu nama LLEVIERA’S, dengan tinta emas dan hiasan batu pulau Lombok yang diminiaturkan menjadi dua buah gantungan kunci, satu untukku, satu untuk Viera, aku yakin di dunia ini hanya ada dua gantungan kunci seperti itu, karena itu kubuat sendiri bersama Viera. Yang saat ini dua-duanya basah oleh keringat dalam genggaman tanganku. Satu milikku, dan satu lagi kuambil dari kolong kursi bus 57 yang sempat dijatuhkan oleh wanita berkerudung putih.

57 melesat nekat menerobos kepadatan lalu lintas. Tak peduli sumpah serapah, tak peduli jerit penumpang, tak peduli padaku yang membatu, pucat, seperti mayat, bersandar dikursi tepat di samping pintu, tepat di belakang wanita berkerudung putih, tapi berbentuk wanita paruh baya. Bukan dia, wanita berkerudung putihku, bukan Saviera Ellia Permata.
*Ayya
Klik, klik,,!!!
Jepretan demi jepretan kameraku mulai mengabadikan berbagai pertunjukan sebagai simbol perayaan ras yacht internasional Vela Latina Mediterranea yang rutin diadakan setiap tahun di sekitar pantai ini.
Banyak acara yang ditampilkan, mulai dari live band, berbagai perlombaan, hingga turnamen voli pantai yang dimainkan oleh wanita-wanita cantik dan seksi, moment inipun tak luput dari mata kameraku untuk divisualisasikan. Di sepanjang pantai, aku juga bisa melihat banyak perahu layar yang berkembang dengan hiasan-hiasan cantik disisi kiri kanan kapal kecil mereka. Suasana pantai indah ini begitu ramai setiap tahun, terutama jika ada perayaan seperti saat ini.


Selepas menikmati perayaan tahunan hingga larut malam, lantas aku merapikan peralatan rekamku dan bergegas kembali ke hotel. Membersihkan badan dan mulai membuka laptopku di meja kecil samping tempat tidur. Dengan celana putih selutut dan kaos oblong yang berwarna putih ditemani secangkir kopi serta roti coklat, aku mulai memindahkan photo-photo hasil jepretan seharian ini ke folder-folderku.

Aku sangat menyukai photografi, padahal aku seorang mahasiswa jurusan kedokteran di universiteit van Amsterdam, Belanda. Namaku Thoni, tepatnya Anthonius Hugo Quinten, lahir 4 April 1986 di Den Haag, salah satu kota tebesar di Belanda. Anak tunggal seorang CEO salah satu perusahaan terkemuka Den Haag. Keliling ke berbagai negara setiap bulanpun tak mungin menghabiskan sepertiganya harta orang tuaku. Harta yang melimpah, dikaruniai wajah yang tampan dengan postur tubuh yang proporsional seharusnya membuatku gampang mencari teman wanita seperti layaknya pria-pria lain. Tapi tidak denganku, aku sendiri merasa heran, aku memang suka mencari kesenangan keluar, menghamburkan uang dengan melakukan perjalanan dan membeli sesuatu yang tidak penting, tapi sekalipun tak pernah terpikirkan olehku tentang mencari wanita. Aku pernah jatuh cinta pada seorang wanita teman sekolahku waktu SMA, tapi ia meninggal karna penyakitnya, sejak itu aku sulit sekali jatuh cinta atau sekedar mencari hiburan dengan mengencani beberapa wanita, tapi tidak kulakukan. Aku lebih suka menikmati menghabiskan uangku dengan menikmati keindahan alam dan tradisi di berbagi negara.

Seperti saat ini, di Pantai Poetto, merupakan pantai terpanjang dan terbaik di seluruh lingkungan disekitarnya, dengan panjang sekitar 11 km dan terdiri dari pasir putih halus yang indah. Pantai yang membentang dari Sella del Diavolo (Devil’s kursi) ke pantai Quartu Sant’Elena ini terletak di pulau Sardinia, sekitar 5 km dari pusat kota Cagliari, sebuah kota kecil di Italia.

Baru 2 hari aku menginjakan kaki di kota ini, sebuah kota yang terletak di atas bukit lengkap dengan dua menara Rabu Pancras dan Gajah towernya. Aku mendarat di bandara Elmas, di pinggiran kota Cagliari, dan memutuskan menginap di hotel duo colone yang kebetulan bersebrangan dengan bandara Cagliari. Hotel mewah dengan pelayanan yang profesional ini kubayar seharga 94 US$ perhari, tapi seimbanglah karena hotel ini memiliki ruangan kamar yang berfasilitas lengkap, AC dan pesawat TV, dengan kasur empuk dan sprei lembut dari satin serta kamar mandi yang juga mewah, yah seperti yang kuharapkan, tempat yang nyaman untuk menginap seperti di kota-kota lain yang pernah kukunjungi. Biasanya aku sengaja mencari kota atau pulau-pulau kecil yang jarang dikunjungi orang atau kurang terkenal di negaranya sendiri apalagi oleh negara lain, jauh dari keramaian dan kebisingan. Dengan begitu, aku bisa menemukan pengalaman-pengalaman baru serta menikmati suasana baru yang bisa memusnahkan kepenatan.

Enam bulan yang lalu aku sempat mengikuti perayaan Vaisakhi, yaitu festival populer di India. Disana, aku melihat berbagai kesenian India, mulai dari tari-tarian rakyat yang paling terkenal seperti Bhangra, Bhavai atau teater rakyat hingga petunjukan musik tradisional dan daerah. Semua kupotret dengan kameraku. Setelah sebelumnya aku mengabadikan keindahan alam di daerah pedesaan kawasan Hokaido, Jepang. Kota yang memiliki ladang pertanian yang luas terbentang bagaikan selimut tebal yang menutupi seluruh permukaan bumi itu, membuatku sangat nyaman. Apalagi aku juga sempat ikut merayakan hanami (menonton bunga-bunga sakura yang bermekaran) di salah satu taman kota di Tokyo. Di pinggir jalan, tepian sungai, taman-taman, semuanya penuh dengan pemandangan bunga khas negara matahari terbit itu.


Jam menunjukkan pukul 1 dini hari, ketika aku mulai membuka-buka folder koleksi photoku dari berbagai negara, hingga aku membuka folder Italia. Aku mengklik folder yang sebelumnya sudah terisi gambar-gambar di sebuah pulau di Itali, hingga gambar sebuah kursi kosong. Aku terdiam,, dan menatap gambar kursi kayu tua itu, ingatanku kembali melayang.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama aku menginjakan kaki di Italia, dua tahun lalu, aku menghabiskan masa liburanku di kota Napoli, tepatnya di pulai Ischia. Sebuah pulau yang memiliki pantai nan indah. Spiaggia, pantai dengan pasir emas yang demikian halus memaksa setiap pejalan kaki untuk tidak mungkin tidak berjalan di sepanjang pantai ini.
Dua tahun yang lalu di Pulau Ischia,

Selama seminggu berada di sini, menikmati indahnya pantai dan mengabadikan gunung-gunung yang berjajar memagari Spaggia, selama seminggu itu pula aku melihat wanita itu. Wanita yang misterius.

Aku bisa menggambarkan dia, wanita berusia sekitar 20 tahun, berambut panjang sepunggung yang tiap kulihat dibiarkan tergerai kusut seolah tak pernah dipedulikan pemiliknya, ah sayang sekali.. tatapan mata kosong dengan bibir selalu terlihat seperti bersenandung, atau mungkin juga bergumam, kadang sesekali tersenyum. Switter biru berlengan panjang dibalut syal yang melilit lehernya serasi dipadu dengan rok sedikit dibawah lutut berwarna putih bersih. Sebentar-sebentar juntaian roknya melambai tertiup angin pantai diikuti gerak rambutnya.. wanita itu tak pernah bergeming dari posisinya, tak pernah juga memalingkan perhatian dari menatap hamparan laut lepas di hadapannya. Kakinya menjejak butiran pasir lembut yang mulai menempel di tumitnya. Dia duduk sekitar 5 meter dari tempatku berdiri. Aku tahu dia menyadari keberadaanku, tapi aku juga tahu bahwa kehadiranku sama sekali tidak mengganggu pikirannya.

Sempat tergerak hatiku untuk mendekati dan menyapanya, namun melihat tatapan matanya yang kosong membuatku ragu dan mengurungkan niat. Aku tak ingin mengganggunya. Bahkan untuk membuat ia jadi objek photoku pun aku tak berani. Aku hanya memperhatikan dari jauh selama berhari-hari, setiap hari.

Tapi tidak di hari ini, dua hari terakhir aku tinggal di pulau ini. Aku tidak melihat wanita itu duduk di kursi tempat biasa ia duduk, aku mendekat ke arah kursi kosong itu. Benar-benar kosong, kutunggu hingga matahari tebenam namun ia tetap tak datang. Hingga esok hari, hingga aku pulang ke Den Haag tetap tak ada. Aku menyesal kenapa tak sempat mengenalnya, wanita itu benar-benar membuatku penasaran. Hingga dua minggu setelah kepulangankupun, masih tetap dapat kuingat bayangan wanita itu. Siapa, ke mana, dan di mana ia sekarang aku tak tahu. Hingga semua berlalu seperti biasanya. Hingga kini, dua tahun berlalu,,


Aku mulai merapikan kembali laptopku, dan beranjak tidur hingga esok hari dan tiga hari selanjutnya.

Pagi ini, aku bersiap-siap meninggalkan kota Cagliari dengan pantainya yang indah. Menuju bandara disebrang hotel. Ketika akan memasuki bandara, tiba-tiba aku melihat seorang wanita, pakaian yang ia kenakan sangat berbeda dengan wanita-wanita kota ini. Seluruh tubuhnya di tutup baju lengan panjang dan rok yang menyapu jalan, ia juga mengenakan kain lebar menutupi kepalanya, pakaian yang ia kenakan sama persis seperti wanita-wanita yang pernah ia temui di Islamic center ketika berkunjung ke Indonesia. Semua tertutup rapi, tapi aku bisa melihat wajahnya, bukan hanya melihat, namun mengenalnya. Sangat mengenalnya, walau dua tahun telah berlalu, walau aku tak sempat bertatapan langsung dengannya, namun aku masih belum melupakan tatapan kosong itu. Wanita pulau Ischia.

Aku bergegas menghampirinya, menyapanya, namun jelas ia tak mengenalku. Ketika aku menceritakan tentang pulau Ischia, ia kemudian tertunduk, seperti menangis, namun kemudian tersenyum.

Emma Charlotte, gadis berusia 22 tahun yang telah diusir dari keluarganya. Menurut ceritanya ia terlahir sama sepertiku, berasal dari keluarga kaya raya, ayahnya seorang pejabat tinggi di pusat kota San Diego Amerika Serikat, sementara ibunya seorang pemilik salon dan butik terkenal di kotanya. Harta melimpah dan kemewahan seperti yang ia rasakan sempat dirasakan Emma juga selama 20 tahun, sebelum ia bertemu dengan seseorang yang banyak mengajarkan tentang Islam, sebuah agama yang menurutnya adalah agama terindah dari segala yang ada. Agama yang membuatnya merasa lebih tegar dan bisa mensyukuri nikmat dunia dan ketenangan jiwa selain harta. Selama ini, ia hidup diantara keluarga tanpa pegangan agama yang jelas, harta yang melimpah tidak menjamin kebahagiaan bagi Emma, berbeda ketika ia mengenal islam, hidupnya berubah. Namun keputusannya untuk mencintai islam ditentang orang tuanya, bahkan ia diberi pilihan “orang tua atau islam”..??

Berminggu-minggu Emma merenung dan mengunjungi kota-kota kecil termasuk pulau-pulau di Italia, untuk menenangkan diri dan membuat keputusan terbesar dalam hidupnya. Akhirnya ia memilih meninggalkan orang tuanya.

Emma baru tiba di Cagliari untuk menemui sahabatnya sesama muslim. Saat ini ia tinggal di Roma Italia, belajar islam dari gurunya dan membuka usaha berjualan kue kering. Tak ada sedikitpun penyesalan yang tampak dari cara ia bicara, justru mata Emma berbinar ketika bercerita tentang agamanya. Ia sangat berharap suatu saat bisa kembali memeluk orang tuanya dan mengajak mereka menganut kepercayaannya sekarang.

Selama dalam penerbangan mulai dari Elmas hingga Sciphol, Amsterdam, aku tetap terpejam memikirkan Emma, wanita yang pernah kutemui di pulau Ischia. Seperti apakah islam..??? sedahsyat apa kekuatan agama itu hingga membuat seseorang rela meninggalkan segala kemewahan hartanya termasuk keluarganya dan memilih tinggal di pulau kecil di kota ini. Aku sangat penasaran ingin mengenalnya, mengenal islam.
Cerita dari sebuah catatan hidup wanita Prancis
Postingan Lebih Baru Beranda

Aya zahir

Aya zahir

About Me

Suka menulis, rajin membaca dan gemar menabung. Aktif nge-Blog dari 2010.

Subscribe & Follow

Popular Posts

  • Pride and Prejudice, Jane Austen. Roman Terpopuler Sepanjang Masa
  • Body Care Review : Shower Scrub, Body Scrub & Brightening Body Lotion by Scarlett Whitening
  • 5 Snack Diet Murah di Indomaret, Alfamart
  • Review : Body Scrub & Shower Scrub Coffee Edition by Scarlett Whitening
  • Kenapa Saya Resign dari Perusahaan Negara dan Pilih Kerja dari Rumah Aja

Blog Archive

  • ►  2025 (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2023 (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
  • ►  2021 (18)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2020 (47)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (1)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (16)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2019 (53)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (11)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (14)
  • ►  2018 (1)
    • ►  Juli (1)
  • ►  2016 (6)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Februari (5)
  • ►  2015 (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2014 (4)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2012 (61)
    • ►  Oktober (8)
    • ►  September (11)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (11)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2011 (51)
    • ►  Desember (7)
    • ►  November (10)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (19)
    • ►  Juni (9)
  • ▼  2010 (4)
    • ▼  Desember (1)
      • PERI KECIL YANG SIAP MENGEPAKKAN SAYAP
    • ►  November (3)
      • LLEVIERA”S
      • Wanita Pulau Ischia
      • Doa di Villa Argapuri

Part Of

Blogger Perempuan
1minggu1cerita
BloggerHub Indonesia

Teman Blogger

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Styling By Yanikmatilah Saja | Theme by OddThemes.

COPYRIGHT © 2020 Aya Zahir | Origin by OddThemes. Styling by Yanikmatilah.