Ah, Kau imam yang menyebalkan_3

Kota ini ramai sejak pagi
“Pagi Humaira”.
“Ah pagi mbak”.
“gimana tidurnya semalam, nyenyak kan? Di sini sih tidak seramai Jakarta memang, tapi gak di pelosok juga sih”.
“saya suka mbak, nyaman”. Aku tersenyum ramah sambil meminum teh hangat sedikit-sedikit
“Kamu gak apa-apa ditugaskan di luar kota begini beberapa hari, Ra?”
“Kan sudah izin suamiku mbak”.
“Mm maksudku kan, kalian masih pengantin baru, apa nggak apa-apa hehe”
“Mas Yudha membebaskan kok, lagian kan ini pekerjaanku. Sebelum menikahpun kita sudah sepakat tentang pekerjaan mbak”.
“Bagus, imam yang baik”.
Aku tersenyum
“Hari ini kita ke desa Sidoarjo, tokoh wanita yang akan kita tulis rumahnya di sana Ra”.
“jauh mbak?”
“Lumayan, satu jam setengah lah ke sana”.
“baiklah”.

 **
“Duh, katanya satu setengah jam mbak”.
“Iya satu setengah jam ke Sidoarjonya, desa Kalanganyar masih agak jauh Ra hehe”.
Desa yang unik, penduduk yang ramah, walau aku tak paham bahasa mereka, mbak Eva yang menterjemahkan bahasanya. Menyusuri jalanan kecil, aku dan mbak Eva memarkir kendaraan di rumah kepala desa. Sementara ke arah lokasi, aku masih harus naik ojek dan berjalan kaki menyusuri tepian pantai pesisir sebelah timur kota Sidoarjo.

Wanita hebat, perjuangan yang sangat keras. Mbok Tinah
Aku beberapa kali menyeka air mataku dengan ujung jilbab, mbak Eva yang menterjemahkan apa yang mbok Tinah ucapkan. Dia bahkan tak dapat melihat jelas wajahku, tangan keriput dan kaki yang sudah tak dapat digerakan lagi, hanya duduk di balai-balai bambu tua. Namun begitu, ia berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai kuliah tinggi ke ibu kota. Dengan hasil mendorong sayuran keliling yang ia dapat dari titipan para tetangga, bantu-bantu memasak dan menjual apa saja yang bisa ia jual. Hingga ketiga anaknya bisa lanjut sekolah dan kuliah ke Jakarta. Sayang, ia kini hanya tinggal sendiri mengharap belas kasihan tetangga untuk makan dan melanjutkan hidup. Awalnya mbok Tinah dan ketiga anaknya tinggal di kota Yogyakarta, tapi beberapa tahun yang lalu  mereka tertimpa gempa dan rumah mereka hancur berantakan. Dan saat itu, anak-anak Mbok Tinah sedang berada di Jakarta dan mbok Tinah ikut dengan beberapa pengungsi yang lain ke Jawa Timur. Hingga saat ini ia tak mengetahui ketiga anaknya di mana. Entah anaknya tidak mencari atau kehilangan jejak ibu mereka, yang jelas sudah sepuluh tahun ini mbok Tinah tak menerima kabar apapun dari anaknya.

Ku hirup udara malam, mengerjapkan mata dan merentangkan kedua tangan. Duh, lelahnya
Tulisan mengenai “perjungan Mbok Tinah” yang akan ku kirim besok pagi ke dapur redaksi sudah lebih dari separuhnya. Ku buka ear phone yang terhubung dengan ponsel putihku, dua jam yang lalu mas Yudha menelphone. Aku ceritakan banyak kejadian di sini, tak lupa aku bilang kangen pada suamiku. Kumatikan lagu di ponsel, seperti biasa ketika aku kerja harus mendengarkan alunan music penenang untuk membantu konsentrasi. Tiba-tiba aku medengar, suara isak tangis. Ku buka pintu kamar, mempertajam pendengaran dan mengikuti arah suara tangisan pelan itu. Sampai aku berhenti di depan kamar mbak Eva, tangisan itu semakin jelas. Jam berdentang dua kali, aku terkejut dan duduk di kursi makan sambil mencicikan air minum. Kenapa mbak Eva?
“Ra”
“Mbak” aku kaget setengah mati
“Kamu belum tidur?”
“Mm belum mbak, tadi aku selesaikan tulisanku, supaya besok tinggal kirim. Mm mbak baik-baik aja?”
“Hmm kenapa?” dia berusaha menutupi mata sembabnya
“Gak apa-apa, aku pikir mbak kenapa? Kalau gitu, aku tinggal ke kamar dulu mbak”.
“Aku rindu Ra” suara mbak Eva lirih
Kuhentikan langkah dan berbalik ke arah mbak Eva yang duduk tertunduk
“Maksud mbak?’
“Aku rindu suamiku, rindu anak-anakku”. Kini mbak Eva menangis lebih keras
“Mbaak, sabaarr”. Aku merengkuh kepalanya berusaha menenangkan, walau aku tidak tahu apa yang terjadi pada suami dan anak-anaknya.
“Aku ingin punya imam sholat seperti imammu, aku ingin sholat berjamaah berdua, sholat malam berdua, seperti awal-awal menikah dulu. Menginjak usia dua tahun pernikahanku mas Rudi terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya, mas Rudi tak pernah pedulikan aku”.
“Maaf, mbak bercerai?” sudah dua tahun aku bekerja dengan mbak Eva, aku tak pernah tau kehidupan mereka
“Masih mengurus perceraian Ra, aku gak mau. Sungguh tidak mau, aku tau betapa Allah tidak menyukai perceraian dalam pernikahan. Tapi mas Rudi keras kepala, dia tak mengijinkanku bekerja, aku menurut saja. Apa yang dia tidak boleh, aku turuti. Tapi Ra, sungguh permasalahannya bukan itu. Dia, mas Rudiku beberapa tahun terakhir aku dengannya sudah tak pernah lagi mau sholat, lain dengan tahun-tahun pertama kali aku kenal dia Ra”. kali ini tangisnya makin menjadi
“Astagfirullah, mbaaak”. Aku bergetar
“Tidak sampai di situ Ra, suamiku akhirnya ketahuan selingkuh di kantornya. Ketika aku marah, dia malah memilih selingkuhannya. Dia juga membawa serta anakku.”

Aku memeluk mbak Eva erat, rasanya dadaku ikut sesak. Kepalaku ikut berputar, aku tiba-tiba ingat suamiku, ingat mas Yudha. Ingat betapa dia selalu mengajakku sholat malam bersama, aku ingat semuanya. Tiba-tiba aku ingin memeluknya erat, berteriak bahwa aku tidak ingin kehilangan dia. Saat itu aku takut, takut sekali.

Masih ada satu hari untuk menyusuri desa lain di kota Sidoarjo, satu setengah jam dari Surabaya. Aku dan mbak Eva akan meliput beberapa kegiatan desa sana, untuk kemudian ku kirimkan besok malam. Seharian ini aku kurang focus, entah kenapa ingin cepat pulang. Mbak Eva menyadari kegelisahanku, ia hanya tersenyum sepanjang liputan.

Besok aku pulang ke Jakarta, malam ini rasanya terasa sangat lama. Aku ingin segera sampai rumah, menatap mas Yudha, imamku, mendekapnya erat. Suamiku yang menyebalkan itu, aku tidak pernah mau kehilangan ia sedetikpun. Ku bolak balik badanku, tak jua bisa menutup mata.

“Gak apa-apa kan Ra, kamu pulang sendiri?”
“Gak apa-apa mbak, selesaikan saja dulu urusanmu dengan mas Rudi dan anak-anak, insya Allah semua akan baik lagi. Toh, aku juga cuma satu jam di pesawat terus langsung ke rumah kan?” ini ikatan kardus terakhir, oleh-oleh Surabaya buat keluargaku di Jakarta, aku tersenyum meyakinkannya.
“Maaf ya Ra, mungkin seminggu lagi aku baru kembali ke Jakarta.”
“Iya iyaa mbaak, aku doakan semuanya kembali baik”. Aku mendekapnya erat

Bersambung lagiiiii :)))))

2 Comments

Silahkan tinggalkan pesan di sini: